Selasa, 28 Juni 2022

OTT KPK Di Bekasi : Ada (Bukan) Raja , (Tapi) Koruptor

 Oleh: Izhar Ma’sum Rosadi, warga Bekasi, tinggal di pojokan Utara, Pemerhati Kebijakan Publik dan Ketua Umum Perkumpulan  Baladaya.


(Tulisan ini pernah dipublish di Kabarjabardaerah.com pada tanggal 22 Oktober 2018)


Demi Tak Terganggunya Distribusi Kesejahteraan Rakyat, puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tekah hadir di kabupaten Bekasi dan melakukan Operasi Tangkat Tangan (OTT) mengenai dugaan suap perizinan Meikarta di kabupaten Bekasi. Suatu kehadiran yang di nanti publik.


Kabupaten Bekasi merupakan daerah yang terdapat MIGAS dan ribuan perusahaan dalam Kawasan-Kawasan Industri berskala Internasional. Sudah sepatutnya infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan dasar warga di kabupaten Bekasi ini juga sebanding dengan pesatnya pembangunan perekonomian (oleh pihak BUMN dan swasta) di kabupaten ini. 


Ada dua hal yang disoroti dalam tulisan ini, sebagai catatan kritis, yakni program Bekasi Terbuka dan Kinerja Inspektorat Daerah.

Hal yang menonjol saat ini adalah munculnya publisitas pemerintah daerah kabupaten Bekasi melalui salah satu program yakni Program Bekasi Terbuka. Program Bekasi Terbuka yang dikelola pemerintahan daerah kabupaten Bekasi patut diapresiasi juga. Namun perut ini seakan melilit menonton video acara program tersebut yang diselenggarakan beberapa saat lalu yang menguraikan tentang program pembangunan di kabupaten bekasi.

Program Bekasi Terbuka menjadi instrumen manajemen reputasi birokrasi. Lantas publik harus bagaimana? Di situlah letak kritisisme yang harus dibangun oleh masyarakat. Kita jangan terkecoh oleh kemasan wah bernama Program Bekasi Terbuka! Terlebih model program ini mirip-mirip reality show. Seluruh program pembangunan dan mekanismenya bersama-sama diuraikan di etalase bernama Program Bekasi Terbuka. Publik bisa melihat dan berpartisipasi melalui mengkroscek kebenaran paparan program pembangunan dan mekanismenya berdasarkan realita sesungguhnya.

Dalam industri media, meminjam terminologi Denis McQuail, model ini dikenal sebagai model ekspresi. Yakni khalayak diperkenalkan pada suatu program dan mereka seintensif mungkin dilibatkan secara psikologis sehingga bisa muncul kepuasan bersama.

Etalase citra itu harus diposisikan tidak berlebihan, bahkan perlu kehati-hatian dan memuat tautan kebenaran terutama bagi birokrat yang akan mengisi etalase. Bagi rakyat yang akan menerima pelayanan birokrasi jangan mudah termanipulasi oleh realitas pulasan, namun bangun kritisisme publik. Jika muatan materi Program Bekasi Terbuka penuh kepura-puraan maka kita bisa melabeli etalase tersebut dengan tulisan besar “kepalsuan yang otentik!”.


Inspektorat Kabupaten Bekasi Harusnya Tidak Mandul


Adanya OTT KPK di kabupaten Bekasi dengan sejumlah pejabat yang tersangkut korupsi menunjukkan bahwa inspektorat daerah tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias mandul. Seyogyanya inspektorat menjadi lembaga kontrol yang efektif, mencegah dan menindak penyimpangan aparat birokrasi, bukan justru menjadi bagian dari masalah dalam tindak penyimpangan di birokrasi.


Alihpun secara struktural memang posisi inspektorat daerah itu adalah bagian dari pemerintah atau eksekutif. Di struktur inspektorat daerah, kepala daerah (bupati) menduduki posisi sebagai pelindung atau pembina.

Dalam konteks ini, inspektorat daerah jangan kemudian bingung bagaimana mau mengawasi atau memeriksa dugaan penyimpangan di tubuh birokrasi pemerintah (di dinas-dinas, misalnya) jika pihak yang akan diawasi atau diperiksa adalah atasannya sendiri atau mungkin temannya sendiri. Inspektorat daerah seyogyanya tidak perlu merasa ewuh pakewuh atau segan untuk memeriksa dan menindaklanjuti dugaan penyimpangan, termasuk dugaan korupsi.

Fungsi dan peran inspektorat daerah dalam rangka pemberantasan korupsi di daerah sangat diharapkan. Adagium bahwa mengungkap ’’borok’’ birokrasi berarti mengungkap ’’aib’’ teman sendiri, tak perlu dihindari inspektorat daerah. Dalam kerja dan kinerjanya, inspektorat daerah tak etis jika cenderung mencari amannya saja. Fungsi-fungsi dan peran pengawasan serta pemeriksaan yang selama ini dilakukan inspektorat daerah seyogyanya dilakukan secara sungguh-sungguh dan tak sekadar formalitas belaka. Jika harus berhadapan dengan kasus penyimpangan atau dugaan korupsi di birokrasi pemerintah, inspektorat daerah harus mampu menunjukkan ’’taringnya’’.

Namun, dengan mirisnya, saya harus mengakui bahwa adanya OTT KPK di kabupaten Bekasi menunjukkan bahwa kinerja inspektorat tidak maksimal. Karena kasus korupsi sudah meng-endemi atau mewabah dan melibatkan pejabat birokrasi, ditambah mandulnya lembaga konvensional seperti inspektorat daerah yang berjalan tidak efektif, harapan public di kabupaten Bekasi agar KPK mengungkap dugaan dugaan tindak pidana korupsi di semua sector, baik DPRD, pemerintahan daerah, pemerintahan kecamatan dan pemerintahan desa.


Benarkah bersihnya DPRD, pemerintah kabupaten, kecamatan, desa dari kasus korupsi akan hanya menjadi sebuah mimpi? Memang tidak mudah memberantas korupsi. Ia sudah menjadi penyakit sosial yang selama sekian puluh tahun dianggap “wajar”. Namun sesulit apapun, pemberantasan korupsi harus terus diupayakan dengan berbagai cara. Lantas kapan kabupaten kita ini akan terbebas dari korupsi? Entahlah, pertanyaan ini yang mungkin sulit untuk dijawab. 


Mencoba teriak korupsi dalam lingkup pemerintahan desa, kecamatan, atau di kabupaten???, mungkin saja anda akan dijuluki Pahlawan Kesiangan yang akan dimusuhi oleh semua unsur pemerintah dan masyarakat. Apalagi jika berani melaporkan terjadinya korupsi ??? Tapi apakah kita akan terus diam, melihat kedzaliman ini? Putus asa kah kita…Oh tentu saja tidak! Peranserta masyarakat dalam pencegahan dan pemberatasan tindak pidana korupsi harus terus dilakukan. Mengapa? Produk kebijakan reformasi dengan adanya desentralisasi kekuasaan dan keuangan, bukannya melahirkan kekuasaan dan anggaran daerah yang mengabdi kepada rakyat, tapi dalam fakta empirisnya lebih mengabdi pada dirinya dan kepentingan kelompoknya. Lahirlah apa yang sering dinamakan desentralisasi korupsi. Otonomi telah melahirkan (bukan) raja-raja kecil di daerah melainkan Koruptor-koruptor di daerah.***1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar