Minggu, 13 November 2011

(Titik Nadir) Political Performance di Kabupaten Pringsewu


Berkatalah Mas ‘X’ kepadaku:

“Kemarin saya ngobrol dg temen sekolah (Mas ‘y’), kebetulan satu desa tapi sekarang menjadi desa/pekon hasil pemekaran” sukeherje telo kulen”. Katanya : "Sehari sebelum pelaksanaan pencoblosan Mas ‘y’ dan beberapa orang kumpul bersama, ada Pak Sekda, Anggota Dewan dari partai “ PeKeSe’, "Mr. Zmr", camat “Sukeherje” ... kata "Mr. Zmr": sebarkan isu kepada masyarakat bahwa kalau ” eSJeDe” kalah akan terjadi kerusuhan" . Itu diantara ceritanya. Bahkan temen saya dikasih uang oleh camat utk disampaikan dari pintu ke pintu, ditambah lagi dengan pencapaian target kalau bisa ” eSJeDe” menang telak. Ini jelas konspirasi Aparat Pemerintah dan Anggota Dewan Terkutuk "Zmr" dari partai “ PeKeSe”. Syukurnya temen saya jadi tau, kalau "Zmr" yg sempet dikaguminya adalah sama busuknya. Walau saya dulu pernah presure dia, tapi dia baru percaya setelah mengalaminya sendiri. Uang yg diberi oleh Camat kemudian disampaikan ke RT utk dibagikan ke warga, "Lucunya sang RT adalah TS (Tim Sukses) Bang A’ ab, dan jadilah dia bergreliya atas nama ABTRI". Semoga saja gugatan Ririn dan Abdullah dimenangkan oleh MK, tapi kalau ternyata tetap” eSJeDe” yg menjadi Bupati, ... ????

Sekelumit cerita di atas, menjadi sedikit contoh ekspresi kemuakan, kekecewaan sekaligus ketidakpercayaan publik kepada para wakil rakyat di DPR dan aparat pemerintahan. Bisa saja sebagian orang menganggap tindakan Mas “x” tak lebih dari sekadar peran di panggung publisitas dirinya di jagat maya.

Namun, bagi penulis, tindakan Mas ‘x’ itu senapas dengan apa yang dilakukan wartawan Irak Muntazer al-Zaidi yang melempar sepatu ke muka Presiden AS saat itu,George W Bush. Meskipun berbeda ranah public, sama-sama mengandung pesan protes berbalut kekecewaan mendalam sehingga butuh ekspresi yang tak biasa. Memang, kenyataannya, oknum aparat pemerintah dan anggota DPRD kita seolah-olah tak mau beringsut dari titik nadir kredibilitasnya di mata publik. Karena itu, potret buramnya turun-temurun dari satu periode ke periode berikutnya.

Saat status wakil rakyat sudah disematkan dan pejabat public diangkat, banyak oknum anggota Dewan dan aparat pemerintah yang mempraktikkan politik dasamuka. Muka manis penuh janji dipasang saat berhadapan dengan khalayak, sementara produktivitas kerjanya terjun bebas tanpa arah.Kita tentu berharap DPR dan aparat pemerintah baru punya komitmen untuk menjaga kehormatan diri dan lembaganya.Wajah anggota DPR sebagai wakil rakyat dan pejabat public yang melekat pada diri dan fungsinya harus benar-benar dihayati dan dikendalikan seoptimal mungkin. Bukan sebaliknya, para anggota DPR dan pejabat public mempertontonkan praktik politik Dasamuka.

Dalam dunia pewayangan, Dasamuka merupakan tokoh yang populer dengan nama Rakhwana. Dia adalah raja Alengka yang digambarkan sebagai sosok raksasa bermuka sepuluh lengkap dengan 20 tangan yang dimilikinya. Penggambaran itu menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas karena selalu ingin diposisikan sebagai kesatria besar. Nama “Rahwana” sendiri memiliki arti “(ia) yang raungannya dahsyat”. Watak politik Dasamuka bercirikan dominatif dan berupaya menempatkan kekuasaan secara penuh dalam kendalinya. Dalam cerita wayang, digambarkan bagaimana Rahwana berambisi menancapkan kekuasaannya di tiga dunia dengan melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat (asura-rakshasa-dety-danawa), dan makhluk surgawi. Ciri lain politik Dasamuka adalah kerap tak mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas dalam pencapaian keinginannya. Perilaku politiknya dikendalikan oleh kesombongan dan kemauan yang tak terbatas tadi.

Penulis tidak mengharapkan perilaku anggota DPR dan aparat pemerintah seperti watak Dasamuka. DPR dan pemerintah merupakan lembaga yang lahir dari rahim demokrasi. Sehingga sangat tidak tepat jika para anggota DPR dan pejabat public mendominasi atau bahkan menyubordinasikan rakyat yang diwakilinya hanya karena sindrom kekuasaan. Salah satu bukti, mereka tidak berwatak dominatif, harus senantiasa terbuka untuk mau mendengar berbagai tuntutan dan dukungan yang berkembang di masyarakat. DPR bukan lembaga di bawah kekuasaan eksekutif, juga bukan di bawah partai politik, melainkan sebuah dewan terhormat yang semestinya bisa melahirkan berbagai kebijakan umum yang terhormat pula dengan perilaku yang seyogianya dibalut oleh nilai-nilai etis dan moralitas.

Memang, tensi politik di wilayah Kabupaten Pringsewu menghangat seiring dengan munculnya rivalitas antara berbagai kekuatan politik yang bertarung dalam Pilkada. Dalam konteks inilah, politik kerap kali didefinisikan sebagi “who gets what and when”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang menarik minat banyak orang. Menurut Deliar Noer (1983 : 6), Politik merupakan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat. Kegiatan politik dalam konteks ini menyebabkan munculnya partisipasi politik. Herbert McClosky (1972 : 252) memaknai term partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum. The term “Political Participation”Will ever to those Voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the Formation of public policy .

Penyelenggaraan Pilkada tentu saja merupakan aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan. Seluruh partai memiliki kepentingan, begitu pun individu kandidat yang hendak bertarung. Mereka akan mengoptimalkan seluruh kekuatan termasuk kekuatan dari para pendukungnya masing-masing. Jika ada kesiapan untuk menang dalam sebuah rivalitas, seyogyanya juga harus ada kesiapan untuk kalah. Namun demikian, banyak kandidat yang ternyata tidak siap kalah sehingga dengan sadar memicu konflik besar di daerah. Partsipasi politik warga masyarakat kerapkali juga tidak dalam domain kesadaran pemilih rasional (rasional voter) melainkan keasadaran palsu yang dimanipulir oleh ikatan-ikatan tradisional, sentimen etnis, budaya patriarki, ideologisasi agama dan lain-lain.

Warga kabupaten Pringsewu bersepakat untuk berdemokrasi melalui pemilihan langsung di daerahnya. Momentum ini dapat mengukur penampilan politik (political performance) di pemerintahan daerah dalam suatu sistem demokrasi nasional. Indikator-indikator penampilan politik jika merujuk pada pendapatnya Bingham Powel Jr (1982 : 3) ada lima, yakni :

Pertama, legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Kedua, pengaturan pengorganisasian perundingan (bergaining) untuk memperoleh legitimasi yang dilaksanakan melalui Pemilu yang kompetitif. Ketiga, sebagian orang dewasa dapat ikut serta dalam proses Pemilu, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting. Keempat, penduduk dapat memilih secara rahasia tanpa ada paksaan. Kelima, Masyarakat dan pemimpinnya bisa menikmati hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta kebebasan pers.

Kenyataan di Pilkada kabupaten Pringsewu yang sudah terselenggara belum melahirkan legitimasi. Hasil yang ditetapkan belum memiliki wibawa sebagai hasil yang syah, sehingga muncul gelombang penentangan dari berbagai pihak, terutama dari pendukung calon yang kalah.

Jika dilihat dari proses penyelenggaraannya, penentangan (konflik) Pilkada biasanya muncul dari hal-hal sebagai berikut:

pertama, tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD.Kedua, sengketa Pilkada juga banyak dipicu oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih.Ketiga, konflik juga sangat mungkin lahir dari ekses masa kampanye. Berbagai upaya melakukan untuk memasarkan politik (marketing of politics) untuk meraih simpati publik, dalam praktiknya sekaligus juga dibarengi dengan tindakan menyerang, mendeskriditkan, black campign, pembunuhan karakter yang dapat menimbulkan rasa sakit hati. Jika menemukan momentumnya, hal ini pun dapat menjadi akselerator konflik dalam Pilkada. Keempat, tahapan yang juga biasanya krusial adalah tahapan penetapan pemenang pilkada. Fenomena yang sering muncul adalah, pihak yang kalah, apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis, selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapat hak pilih biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah. Kelima, konflik juga bisa jadi muncul di proses penetapan pemenang. Kasus di beberapa daerah, DPRD tidak mau menetapkan hasil Pilkada. Terutama, di daerah yang mayoritas anggota DPRD-nya berasal dari kubu yang bersebrangan dengan kandidat yang tepilih. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca pilkada.

Rentetan kasus dalam penyelenggaraan Pilkada yang berujung konflik bisa jadi memperlemah political performance. Terutama, jika konflik tak bisa dikelola secara baik oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan penyelenggaraan Pilkada. Penulis menghendaki bahwa pilkada kabupaten Pringsewu ini akan berakhir dengan aman dan damai. Tentu kondisi demikian menyaratkan adanya sistem pengorganisasian perundingan yang tertata dengan baik, berbagai pihak otoritatif seperti KPU, DPRD juga Mentri Dalam Negeri memiliki wibawa untuk membawa konflik pasca Pilkada secara lebih elegan. Jika semua itu terjadi, maka political performance di sebuah daerah dengan sendirinya akan menjadi lebih baik dan tidak berpotensi melahirkan konflik pasca pilkada.

(Penulis lahir dan besar di Kab. Pringsewu, pemerhati social dan politik, kini tinggal di Jakarta, penulis dapat dihubungi melalui nomor 0812 8651 8706)