Cerita Pendek

 Sumbangan itu  Transparan Bukan Ditutupi


 


Pujanti adalah gadis periang. Setiapkali berpapasan orang, ia selalu ramah menyapa. Ia lincah dibanding teman-teman perempuannya yang lain. Paras Ayu senyuman manis? Iya. Bisa Silat? Apalagi. Kesehariannya bekerja di perusahaan peracik kopi. Rutinitas sudah pasti mengkungkungnya. Pergi pagi-pulang jelang gelap.


 


Di akhir pekan Pujanti berpetualang dengan Vespa Baccheta. Jalan meliuk-lingkar melalui bukit, bahkan pingiran sawah ladang ia lalui. Meskipun mengenakan topi baja, rambutnya tetap terurai dihembus angin. Pujanti anggun sekali di saat seperti itu. Ia tak lupa waktu. Mesti pulang sebelum senja.


 


 


******


 


Di lingkungan Pujanti tinggal, ia cukup ramah dan ringan tangan. Ikut bergotong royong bersama warga tetangganya. Jika Kepala lingkungan woro woro sumbangan, ia ikut menyumbang. Menyisihkan uang dari hasil kerja. Orang tuanya selalu mengajarkan kebajikan dan beramal. Tentu ada manfaatnya kelak, dunia dan akhirat.


Kamu gak ikut nyumbang? Seru Pujanti ke sahabatnya, Arsad.


 


“Aku khan tidak tinggal di sini. Tapi tak apalah,” Arsad menjawab sambil tersenyum.


 


Dengan sikapnya yang ingin berbuat kebajikan, Pujanti bersemangat sekali.  Menyumbang untuk kebaikan bersama, gumamnya dalam hati.


 


“Pak, ini saya ikut nyumbang buat  kegiatan di lingkungan,” seru Pujanti  kepada Kepala Lingkungan, yang nota bene  bekas anggota KNIL, dua hari lalu ia baru saja memukuli anak buahnya, yang tak bersalah.


 


 


Bukan soal Pujanti takut dibentak-bentak jika tak ikut nyumbang, tapi sudah menjadi kemauannya untuk ikut menyumbang buat lingkungan.


 


Ah,  sudahlah, gumam Pujanti,  sambil mengerlingkan mata ke hamparan pegunungan.


 


 


****


 


 


 


Pegunungan itu tampak membiru. Awan mengelilingi puncaknya. Pujanti, anak perkampungan itu berhasrat mendakinya.


 


“Arsad……ayuk kita mendaki ke gunung itu”


 


“Ah…Jika ke sana ada satu pos jaga NICA, persis dekat sungai menuju ke arah laut”


 


“Kamu Takut?


 


“Tidak sama sekali. NICA harus diusir dari bumi pertiwi”


Pujanti bersiap dengan Ransel, tak lupa Nasi Lemeng, ikan Asin dan racikan kopi di dalamnya


 


Arsad pun memakai ransel, penuhi peluru ke Chamber M1 Garand dan magazine.


 


Mereka berangkat.


 


Jalan berliku menyisir tepi tebing bukit terjal.


 


“Kamu tahu uang sumbangan kemarin itu untuk apa?


 


“ buat benahi jalan lingkungan”


 


“ O..”


 


“Kenapa memangnya?”


 


“aku sudah Tanya ke Bekas KNIL itu, berapa uang terkumpul? Untuk apa-apa saja uangnya?”


 


“Ada 3 orang NICA di Pos jaga..itu lagi duduk-duduk minum kopi”


 


 


Kopi hasil bumi ibu pertiwi memang sangat harum dan disukai. Termasuk NICA pun suka.


Arsad mulai menumpahkan peluru dari M! Garand- nya. Tiga-tiganya terkapar mati.


 


“Lalu apa jawab beks KNIL itu?”


 


“Dia tidak jawab pertanyaaanku”, Arsad sambil menyeka M1 Garand nya. “Ayo kita jalan lagi, sudah aman”


 


“Kok bekas KNIL itu gak jawab?” Arsad tidak menjawab.


 


Tetap berjalan capai puncak gunung itu.Pohon pinus itu cukup rapat dan lebat. Daunnya rindang di musim penghujan begini. Jalan setapak melingkar terus di tempuh. Sesekali meminum air sambil berdiri menyandar pohon. Jalan mulai sedikit berkabut.


 


 


“Nah…kita sudah sampai dipuncak, aku siapkan api, masak dan minum kopi di sini”


 


Setelah makan nasi lemeng, kopi pun dihirup dalam-dalam.


 


“ Bekas KNIL itu kenapa tidak jawab tentang uang sumbangan?


 


“Tidak sama sekali, Justru aku dibujuk rayu diajak pesta pora gaya Belanda”


 


“Terus?


 


“Aku Tidak mau. Itu bukan gaya ku..khan?”


“iya. Tapi Sebenarnya bekas KNIL itu mestinya bisa berubah baik di masyarakat dan menjaga reputasinya. Reputasi tidak bisa dibentuk, tapi bisa dirasakan oleh warga. Sementara untuk mencapai reputasi itu butuh waktu yang lama. Reputasi baik akan hancur jika ia melakukan kebohongan kepada warga, meski hanya sekali.”




“Kamu benar, Pujanti  ! Gusti Mboten Sare! Dan memang penting kiranya menjaga integritas, kehormatan, dan martabat. Aku jadi teringat ungkapan Maya Angelo -  ‘I’ve learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.’


*****



*****


(Cerpen Oleh: Izhar Ma’sum Rosadi,  Tarumajaya Kab Bekasi, Senin, 27 Juni 2022, menjelang Subuh Tiba}


Tidak ada komentar:

Posting Komentar