Jumat, 05 April 2019

FENOMENA KORUPSI DI DAERAH, INSPEKTORAT HARUS BERANI TUNJUKKAN TARING


Oleh: Izhar Ma’sum Rosadi
(Tulisan opini ini pernah dipublish di portal media online https://znews.co.id pada 16 Februari 2019)

Dalam konteks kehidupan di alam pemerintahan daerah, ditutupi atau tidak, ternyata korupsi juga lazim dilakukan oleh oknum aparatur pemerintah daerah, oknum DPRD dan bahkan masyarakat pelaku pembangunan yang eksis di pemerintahan daerah. Kalau dari sisi pemerintahan daerah saja terjadi korupsi yang telah membudaya, tentunya hal ini lambat laun akan memberikan warna tersendiri bagi citra pemerintahan pusat. Upaya pemberantasan korupsi di pemerintahan daerah menjadi sangat sulit karena para tokoh koruptor lokal semakin pintar berkorupsi, mereka secara bersama-sama melakukan tindakan korupsi secara sistemik dan terorganisir, bahkan dilakukan dengan sangat halus nyaris tak terlihat. Melawan arus tersebut hanya akan konyol ketika kita akan menjadi Pahlawan Kesiangan dalam pemberantasan korupsi di pemerintahan daerah.
( Foto : Izhar Ma’sum Rosadi, warga desa Segarajaya kecamatan Tarumajaya kab Bekasi Jawa Barat, pemerhati dan analis kebijakan publik, serta Ketua Umum LSM BALADAYA)

Para pembaca yang budiman, korupsi merupakan kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) dan atau kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Dalam situs Wikipedia Indonesia, disebutkan bahwa istilah KORUPSI berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio yang asalnya dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, dan menyogok. Sedangkan secara istilah, korupsi didefinisikan sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sebagai misal, fenomena dari gegap gempita ditangkapnya Bupati Bekasi non aktif beserta oknum Jajaran petinggi SKPD dan adanya indikasi keterlibatan sejumlah oknum anggota DPRD Kab/prov, juga mendagri, dalam kasus suap untuk pemulusan perijinan Mega Proyek Meikarta adalah terpuruknya kredibilitas mereka di mata masyarakat. Kasus ini mengonfirmasi sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa korupsi sudah menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite.

Korupsi tidak hanya berdampak dalam satu aspek kehidupan saja sebagaimana diterangkan oleh para ahli dalam banyak riset dan penelitian. Korupsi menimbulkan domino effect yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya praktik korupsi di suatu kabupaten akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, harga barang-barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses warga terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu daerah akan terancam, citra penyelenggara pemerintahan yang buruk akan menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal, wal hasil krisis ekonomi akan menjadi berkepanjangan,dan kabupaten pun menjadi lemah dalam menghadapi persaingan global.

Benarkah bersihnya pemerintah dari kasus korupsi hanya menjadi sebuah mimpi? Sebagai contoh, Akankah slogan Bekasi Baru Bekasi Bersih hanya akan menjadi slogan belaka atau mimpi belaka? Memang tidak mudah memberantas korupsi. Ia sudah menjadi penyakit sosial yang selama sekian puluh tahun dianggap “wajar”. Namun sesulit apapun, pemberantasan korupsi harus terus diupayakan dengan berbagai cara. Lantas kapan kabupaten kita ini akan terbebas dari korupsi? Entahlah, pertanyaan ini yang mungkin sulit untuk dijawab.

Mencoba teriak korupsi dalam lingkup pemerintahan, mungkin saja anda akan dijuluki Pahlawan Kesiangan yang akan dimusuhi oleh semua unsur pemerintah dan masyarakat.
Apalagi jika berani melaporkan terjadinya korupsi ??? mungkin hanya akan membuat anda konyol di tengah cengkraman politisasi birokrasi yang kokoh dan sulit ditembus. Tapi apakah kita akan terus diam, melihat kedzaliman ini?

Tentu tidak ! Jika Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa jika ada pungli PTSL, Laporkan saja. Saya pun segera melaporkan satu temuan dugaan pungli PTSL beberapa waktu yang lalu, dan kini sedang menunggu hasil atas laporan tersebut. Pun demikian, sebagai warga bekasi, saya telah memberikan informasi untuk ditindaklanjuti berupa dugaan tindak pidana korupsi berupa Anggaran Ganda bagian pemerintahan umum setda kabupaten Bekasi 2016 sebagai langkah tindaklanjut atas rekomendasi KPK beberapa saat yang lalu, bahwa hal yang dilaporkan tersebut sebagai informasi untuk APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintahan Daerah) setempat atau Inspektorat. Selain itu juga, melaporkan dugaan korupsi pada program pembangunan Pagar Keliling ara panjat tebing Gedung Olahraga Raga Wibawamukti 2018.

Semakin maraknya pejabat daerah yang tersangkut korupsi menunjukkan bahwa inspektorat daerah tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias mandul. Jangankan menjadi lembaga kontrol yang efektif, mencegah dan menindak penyimpangan aparat birokrasi justru menjadi bagian dari masalah dalam tindak penyimpangan di birokrasi. Aparatur inspektorat daerah dinilai tidak mampu berbuat apa-apa ketika ada dugaan penyimpangan dan korupsi di tubuh birokrasi pemerintahan. Misalnya, di dinas-dinas dan/atau yang menyangkut kepala daerah sendiri (gubernur dan bupati/wali kota).
Pembaca yang budiman, menyikapi fenomena itu, meskipun secara struktural memang posisi inspektorat daerah itu adalah bagian dari pemerintah atau eksekutif bahwa kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) menduduki posisi sebagai pelindung atau Pembina, dalam menjalankan tugasnya seyogyanya dapat menjalankan tgas secara efektif agar tidak mandul. Dalam konteks ini, dalam mengawasi atau memeriksa dugaan penyimpangan di tubuh birokrasi pemerintah (di dinas-dinas, misalnya) jika pihak yang akan diawasi atau diperiksa adalah atasannya sendiri atau mungkin temannya sendiri. Dalam kondisi demikian, inspektorat daerah jangan merasa ewuh pakewuh atau segan untuk memeriksa dan menindaklanjuti dugaan penyimpangan, termasuk dugaan korupsi.

Sebagai warga kabupaten bekasi, saya berharap agar Inspektorat menindaklanjuti informasi dari kami selaku masyarakat dan bekerja sesuai dengan tupoksinya dalam rangka pemberantasan korupsi. Jadi, adagium bahwa mengungkap ’’borok’’ birokrasi berarti mengungkap ’’aib’’ teman sendiri, tak perlu digunakan lagi. Fungsi-fungsi dan peran pengawasan serta pemeriksaan yang selama ini dilakukan inspektorat daerah seyogyanya tidak sekadar formalitas belaka. Ketika harus berhadapan dengan kasus penyimpangan atau dugaan korupsi di birokrasi pemerintah, inspektorat daerah harus mampu menunjukkan ’’taringnya’’. Jika tak mampu menunjukkan “taringnya”, gagasan untuk membentuk KPK di daerah menjadi sebuah keniscayaan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar