Tak Elok Jika Partisipasi Masyarakat terkait Fasum
Fasos dibungkam dengan SLAPP
Oleh Izhar Ma’sum Rosadi ( Warga Kabupaten Bekasi, Kritikus dan Aktivis, Ketua LSM BALADAYA, bisa dihubungi melalui HP/WA 08997020292 atau email izhar.mr@gmail.com)
Pendahuluan
Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan perumahan, terutama dalam mencapai pemenuhan haknya atas perumahan yang layak. Dalam penyelenggaraan perumahan, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dan menjadi faktor penting untuk memperkuat perspektif sosial maupun politik dalam pengambilan kebijakan.
Sherry R. Arnstein (2007:217) menyebutkan bahwa tingkat tertinggi dalam peran serta adalah kontrol oleh masyarakat (citizen control). Pentingnya kontrol oleh masyarakat dilandasi banyaknya kasus kejahatan perumahan dan permukiman. Kontrol oleh masyarakat juga menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan/kebijakan. Salah satu bentuk pengakuan terhadap kontrol oleh masyarakat dalam pengambilan keputusan/kebijakan adalah Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-making and Access to Justice in Environmental Matters atau yang dikenal dengan Konvensi Aarhus. Konvensi ini memberikan hak bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan melalui penyampaian pendapat terhadap suatu rencana atau program dengan memberikan ruang untuk menyampaikan pandangannya dengan jangka waktu yang efektif dan memadai.
Hak berperan serta diakui sebagai cara untuk mendapatkan perlindungan hukum atas peransertanya. Konsep ini dikenal dengan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti SLAPP). Ketika konsep SLAPP pertama kali dipublikasikan, George W. Pring dan Penelope Canan sebagai penemu konsep ini membagi SLAPP ke dalam beberapa bidang antara lain: pembangunan real estate, perpajakan, lingkungan hidup, dll. Namun, peran serta masyarakat tetap saja masih memiliki ruang untuk terjadinya kriminalisasi.
Berdasarkan pada pengamatan saya, terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosial yang belum diserahkan pengembang ke pemerintahan daerah kabupaten Bekasi. Selain itu, terdapat pula fasilitas umum yang telah disertifikatkan oleh pihak lain, padahal sejak dulu lahan itu merupakan fasilitas umum. Tambahan lagi, partisipasi masyarakat dalam pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum memiliki ruang untuk terjadinya kriminalisasi. Ada kemungkinan terjadinya SLAPP pada warga masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik, dalam pengertian bahwa lingkungan perumahan yang memiliki fasum dan fasos. Salah satu contohnya, bahwa partisipasi warga masyarakat pada perumahan Bulak Kapal Permai Kabupaten bekasi dimungkinkan terjadi SLAPP dan ini memanggil rasa solidaritas saya sebagai aktivis. Melalui tulisan ini yang menggunakan berbagai data kepustakaan, saya ingin mengurai beberapa kata kunci yakni; partisipasi, Fasum Fasos, SLAPP, Kinerja Pemerintah Daerah Kab Bekasi terkait fasum fasos, dan siapa yang paling dirugikan secara ekonomi politik.
Partisipasi
Sebenarnya, partisipasi itu merupakan hal lumrah dan sangat biasa dilakukan melalui beragam cara, baik pendampingan warga maupun memperjuangkan hak atas fasum fasos. Kata Partisipasi selama ini diterjemahkan sebagai ‘peran serta’ atau ‘keikutsertaan’. Konsep partisipasi dalam perkembangannya memiliki pengertian yang beragam walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan.
Partisipasi merupakan salah satu pilar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Partisipasi berarti memberikan kesempatan pada semua pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam setiap tahapan perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga evaluasi suatu kebijakan. Berpartisipasi diamanatkan dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio sebagaimana disebutkan:
“Environmental issues are best handled with participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.”
Gaventa dan Valderama (1999) menyatakan bahwa dalam pembangunan yang demokratis, terdapat tiga tradisi partisipasi yaitu partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga. Partisipasi dalam proses politik yang demokratis melibatkan interaksi individu atau organisasi politik dengan negara yang diungkapkan melalui tindakan terorganisir melalui pemungutan suara, kampaye, protes, dengan tujuan mempengaruhi wakil-wakil pemerintah. Partisipasi sosial dalam kontek pembangunan diartikan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai pewaris pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan di semua tahapan siklus pembangunan. Dalam hal ini partisipasi sosial ditempatkan diluar lembaga formal pemerintahan. Sedangkan partisipasi warga diartikan sebagai suatu kepedulian dengan perbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Hal yang menonjol saat ini adalah adanya partisipasi warga masyarakat untuk memperjuangkan hak atas fasum fasos perumahan.
Fasum Fasos
Departemen Pendidikan Nasional, dalam Besar Bahasa Indonesia (2016), fasilitas sosial adalah fasilitas yang disediakan oleh pemerintah atau swasta untuk masyarakat, seperti sekolah, klinik, dan tempat ibadah. Sedangkan fasilitas umum adalah fasilitas yang disediakan untuk kepentingan umum,seperti jalan dan alat penerangan umum. Fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum – fasos) adalah hak warga yang wajib dipenuhi dalam setiap pengembangan perumahan. Pengaturan tentang fasilitas umum dan fasilitas sosial ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman. Dari Undang-Undang tersebut di atas kemudian diterbitkan pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman Di Daerah yang menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 yang di anggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 merumuskan fasos-fasum dalam tiga kategori. Yaitu:
1. Prasarana lingkungan mencakup antara lain jalan, saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah (pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2009). 2. Utilitas umum, meliputi bangunan-bangunan yang dibutuhkan dalam sistem pelayanan lingkungan seperti jaringan air bersih, listrik, gas, telepon, terminal angkutan umum/bus shelter, fasilitas kebersihan/ tempat pembuangan sampah, dan pemadam kebakaran (pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009).
3. Fasilitas sosial yang dibutuhkan masyarakat di lingkungan pemukiman seperti pendididikan, kesehatan, perbelanjaan dan niaga, pemerintahan dan pelayanan umum, peribadatan, rekreasi dan kebudayaan, olahraga dan lapangan terbuka, serta pemakaman umum (pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009).
Merujuk pada ketiga poin di atas, tak lepas dari kata “Lingkungan”, yaitu prasarana lingkungan, sistem pelayanan lingkungan dan lingkungan permukiman. Dalam kaitannya dengan memperjuangkan lingkungan yang baik dengan adanya ketersediaan fasum fasos, masyarakat perumahan Bulak Kapal Permai Kabupaten Bekasi berpotensi diterapkannya SLAPP.
SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation)
SLAPP merupakan terminologi baru yang dikenal di Indonesia sejak UUPPLH disahkan. Terminologi SLAPP dikenal melalui ketentuan Pasal 66 yang berbunyi:
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Jika membaca ketentuan Pasal 66, maka akan tersirat seperti hak imunitas bagi masyarakat dan aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk terlepas dari tuntutan pidana maupun gugatan perdata. Ketentuan pasal ini memberikan perlindungan atas upaya-upaya kriminalisasi yang terjadi dalam kasus lingkungan hidup.
Secara konseptual, ketentuan Pasal 66 didasarkan dari ketentuan Pasal 65 ayat (1) yang menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”
Heinhard Steiger, et.al. sebagaimana dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri menyebutnya sebagai hak-hak subyektif (subjective rights), yaitu bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Koesnadi Hardjasoemantri kemudian menyebutkan bahwa hak tersebut memberikan kepada yang mempunyainya suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum, dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya. Tuntutan tersebut mempunyai dua fungsi, yaitu yang dikaitkan pada hak membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungannya dan yang dikaitkan pada hak menuntut dilakukannya sesuatu tindakan agar lingkungannya dapat dilestarikan, dipulihkan, atau diperbaiki.
Sebagaimana terminologinya, SLAPP pada dasarnya bertujuan untuk membungkam/mendiamkan partisipasi masyarakat. Penelope Canan dan George W. Pring, sebagaimana dikutip oleh Dwight H. Merriam dan Jeffrey A. Benson menyebutkan bahwa SLAPP merupakan tindakan dengan menggunakan mekanisme pengadilan untuk menghilangkan partisipasi publik dengan mendiamkan, mengganggu, dan menghalangi lawan politik.
Saat ini belum ada pengertian yang baku mengenai SLAPP, sehingga akan lebih mudah mengenali SLAPP melalui 4 kriteria yang disampaikan oleh George W. Pring, yaitu:
1. Adanya keluhan, pengaduan, tuntutan dari masyarakat atas dampak kerusakan yang terjadi;
2. Dilakukan terhadap masyarakat secara kolektif, individual, dan organisasi non pemerintah;
3. Adanya komunikasi yang dilakukan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang;
4. Dilakukan terhadap isu yang menyangkut kepentingan umum atau perhatian publik.
Kriteria kelima yang dapat ditambahkan bahwa SLAPP dilakukan dengan tidak berdasar dan mengandung motif politik atau motif ekonomi tersembunyi. Kriteria tersebut tentunya dapat terus berkembang mengikuti kondisi yang terjadi. Dari kriteria yang disampaikan oleh George W. Pring dapat dilihat bahwa pada umumnya yang menjadi “korban” dari tindakan SLAPP adalah masyarakat. George W. Pring dan Penelope Canan kemudian menegaskan bahwa pihak yang menjadi target SLAPP selain masyarakat biasanya adalah organisasi non pemerintah, jurnalis dan media. Pada perkembangan beberapa kasus SLAPP, pemidanaan atau gugatan yang dilakukan lebih bersifat intimidatif dan mengancam untuk menimbulkan ketakutan bagi masyarakat yang menjadi korban. Hal seperti ini menjadi salah satu contoh tindakan yang dapat menghilangkan/ membungkam partipasi publik.
Perjuangan warga masyarakat perumahan Bulak Kapal Permai yang rawan SLAPP, mengindikasikan adanya kelemahan kinerja kabupaten Bekasi dalam pengadaan fasum fasos.
Lemahnya Kinerja Pemerintah Daerah kab Bekasi
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1987 sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi Nomor 30 Tahun 1995 tentang Kewajiban Penyediaan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial bagi Perusahaan Pembangunan Perumahan di Wilayah Daerah Tingkat II Bekasi,lahan TPU harus diserahkan kepada Pemerintah Daerah saat pengajuan siteplan.
Persetujuan siteplan dilakukan oleh Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman (DTRP) (kini sudah berubah menjadi DPRKPP atau Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan), dengan sebelumnya telah memperoleh rekomendasi dari Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Sekretariat Daerah (Setda). Pengajuan persetujuan siteplan harus disertai dengan penyerahan cadangan tanah makam / Lahan TPU seluas 2% dari siteplan yang diajukan untu disetujui. Rekomendasi dari kepala Tapem Setda terbit jika pengembang telah menyerahkan cadangan TU beserta dengan dokumen pendukungnya berupa Surat Pelepasan Hal (SPH). Lahan TPU juga harus dilakukan penilaian terlebih dulu untuk dituangkan dalam berita acara. Rekomendasi dari Kepala Bagian Tapem Setda disampaikan pada DTRP (kini DPRKPP) sebagai salah satu syarat penerbitan siteplan. Proses penyerahan TPU diadministrasikan di Kabag Tapem Setda dan seanjutnya ditindaklanjuti dengan penyerahan berkas SPH dan dituangkan dalam Berita Acara kepada SKPD yang membidangi administrasi aset aset pemerintah daerah dan SKPD teknis pengelola TPU.
Permasalahan pengelolaan Fasos Fasum terkait Tempat Pemakaman umum TPU telah diungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Provinsi Jawa Barat atas LKPD Kabupaten Bekasi TA 2015, diketahui hal hal sebagai berikut, diantaranya; Sebanyak 186 pengembang belum menyerahkan cadangan lahan TPU; Terdapat selisih jumah pengembang, jumah bidang, dan luss tanah cadangan lahan TPU yang tercatat pada dtrp dengan Bagian Tata Pemerintahan Setda; dan Sebanyak 29 pengembang yang telah memperoeh izin site plan beum menyerahkan cadangan lahan TPU seluas 98.844,7 m2;
Kemudian, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPD Kab Bekasi TA 2016 terdapat data yang menunjukkan bahwa terdapat 23 pengembang yang belum selesai dalam melaksanakan proses penyerahan Fasos Fasum. Tahun 2017, DTRP berubah menjadi DPRKPP dan berdasarkan penelusuran saya ke dinas tersebut bahwa ditahun 2017 , dari ratusan pengembang baru ada 33 pengembang yang telah menyerahkan fasum dan fasos.
Siapa yang paling dirugikan?
Ekonomi politik bertujuan mempelajari dan menganalisis proses-proses sosial dan institusional dimana kelompok elite ekonomi dan politik berusaha mempengaruhi keputusan untuk mengalokasikan sumber-sumber produktif langka untuk masa sekarang atau masa mendatang, baik untuk kepentingan kelompok tersebut maupun untuk kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu ekonomi politik membahas hubungan ekonomi dan politik dengan tekanan peranan kekuasaan dalam mengambil keputusan ekonomi (Rachbini dan Bustanul, 2001: 25). Kerangka pemikiran ekonomi politik digunakan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dari belum diserahkannya fasum dan fasos oleh pengembang perumahan kepada Pemerintah KotaSurabaya, siapa saja yang mendapat keuntungan dan kerugian,serta dapat melihat implikasi apa saja yang ditimbulkan baik secara ekonomis maupun politis dari hal tersebut, terutama dengan melihat aktor-aktor yang terlibat baik dari pemerintah sendiri sebagai pembuat dan pengambil kebijakan serta pengembang perumahan sebagai pelaku ekonomi.
Belum diserahkannya fasum dan fasos oleh para pengembang perumahan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi menimbulkan banyak permasalahan, baik dalam kondisi fisik fasum dan fasos, hingga pada pemberian sanksi. Tetapi, dari belum diserahkannya fasum dan fasos ini memunculkan implikasi baik dalam hal ekonomis maupun politis yang bersifat menguntungkan dan merugikan.
Pihak yang diuntungkan yang pertama adalah pengembang perumahan sebagai pelaku usaha sebab mereka lebih menekankan kepada keuntungan. Oleh karena itu, pengembang perumahan diuntungkan dengan belum diserahkannya fasum dan fasos. Hal ini disebabkan untuk mensertifikatkan lahan fasum dan fasos sebagai syarat penyerahan kepada pemkab tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar. Tidak adanya ketegasan pemerintah kabupaten untuk menindak para pengembang perumahan yang belum menyerahkan fasum dan fasosnya tersebut, pengembang merasa diuntungkan karena beban untuk perawatan fasum dan fasos diserahkan kepada penghuni perumahan, terutama perumahan yang memiliki manajemen estat sendiri, yang kedua adalah pemerintah kabupaten, pemerintah kabupaten juga diuntungkan dari belum diserahkannya fasum dan fasos ini. Hal ini disebabkan pemerintah kabupaten tidak dibebankan biaya perawatan fasum dan fasos yang belum diserahkan. Secara tidak langsung pemerintah diringankan anggarannya dalam hal pemeliharaan fasum dan fasos.
Sedangkan yang dirugikan disini adalah penghuni perumahan, terutama penghuni yang tinggal di perumahan yang fasum dan fasosnya belum diserahkan kepada pemerintah kabupaten. Hal ini disebabkan pada perumahan yang fasum dan fasosnya tidak diserahkan kepada pemkab, untuk perawatan fasum dan fasos dibebankan kepada penghuni perumahan. Penghuni perumahan dibebankan iuran perbulan untuk perawatan fasum dan fasos, khususnya pada perumahan yang memiliki manajemen estat sendiri. Kemudian, pada perumahan yang pengembangnya telah bubar, penghuni perumahan menjadi dirugikan disebabkan misalnya kondisi fasum dan fasos yang tidak lagi prima (rusak) dan tidak ada yang bertanggung jawab dalam perawatannya. Pemerintah kabupaten tidak bisa merawat fasum dan fasos disebabkan belum adanya serah terima dari pengembang perumahan yang terdahulu. Yang parahnya lagi, developer perumahan sudah bubar, namun meninggalkan persoalan fasum fasos, seperti yang terjadi pada Perumahan Bulak Kapal Permai Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Apakah kriteria kelima SLAPP, bahwa SLAPP dilakukan dengan tidak berdasar dan mengandung motif politik atau motif ekonomi tersembunyi?
Sebagai penutup, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada proses hukum yang sedang berjalan, Sungguh Tak elok, jika partisipasi warga masyarakat dalam memperjuangkan hak lingkungan yang baik dalam hal lingkungan permukiman, dimungkinkan terjadi dikriminalisasi melalui bentuk SLAPP. Pemerintah daerah kab bekasi selama ini ngapain aja? Bekerjalah maksimal ! (*)
(Tulisan opini ini pernah dipublish di portal media online https://znews.co.id pada 30 Maret 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar