Jumat, 05 April 2019

Tak Elok Jika Partisipasi Masyarakat terkait Fasum Fasos dibungkam dengan SLAPP


Tak Elok Jika Partisipasi Masyarakat terkait Fasum Fasos dibungkam dengan SLAPP



Oleh Izhar Ma’sum Rosadi ( Warga Kabupaten Bekasi, Kritikus dan Aktivis, Ketua LSM BALADAYA, bisa dihubungi melalui HP/WA 08997020292 atau email izhar.mr@gmail.com)

Pendahuluan
Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan perumahan, terutama dalam mencapai pemenuhan haknya atas perumahan yang layak. Dalam penyelenggaraan perumahan, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dan menjadi faktor penting untuk memperkuat perspektif sosial maupun politik dalam pengambilan kebijakan.
Sherry R. Arnstein (2007:217) menyebutkan bahwa tingkat tertinggi dalam peran serta adalah kontrol oleh masyarakat (citizen control). Pentingnya kontrol oleh masyarakat dilandasi banyaknya kasus kejahatan perumahan dan permukiman. Kontrol oleh masyarakat juga menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan/kebijakan. Salah satu bentuk pengakuan terhadap kontrol oleh masyarakat dalam pengambilan keputusan/kebijakan adalah Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-making and Access to Justice in Environmental Matters atau yang dikenal dengan Konvensi Aarhus. Konvensi ini memberikan hak bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan melalui penyampaian pendapat terhadap suatu rencana atau program dengan memberikan ruang untuk menyampaikan pandangannya dengan jangka waktu yang efektif dan memadai.
Hak berperan serta diakui sebagai cara untuk mendapatkan perlindungan hukum atas peransertanya. Konsep ini dikenal dengan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti SLAPP). Ketika konsep SLAPP pertama kali dipublikasikan, George W. Pring dan Penelope Canan sebagai penemu konsep ini membagi SLAPP ke dalam beberapa bidang antara lain: pembangunan real estate, perpajakan, lingkungan hidup, dll. Namun, peran serta masyarakat tetap saja masih memiliki ruang untuk terjadinya kriminalisasi.
Berdasarkan pada pengamatan saya, terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosial yang belum diserahkan pengembang ke pemerintahan daerah kabupaten Bekasi. Selain itu, terdapat pula fasilitas umum yang telah disertifikatkan oleh pihak lain, padahal sejak dulu lahan itu merupakan fasilitas umum. Tambahan lagi, partisipasi masyarakat dalam pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum memiliki ruang untuk terjadinya kriminalisasi. Ada kemungkinan terjadinya SLAPP pada warga masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik, dalam pengertian bahwa lingkungan perumahan yang memiliki fasum dan fasos. Salah satu contohnya, bahwa partisipasi warga masyarakat pada perumahan Bulak Kapal Permai Kabupaten bekasi dimungkinkan terjadi SLAPP dan ini memanggil rasa solidaritas saya sebagai aktivis. Melalui tulisan ini yang menggunakan berbagai data kepustakaan, saya ingin mengurai beberapa kata kunci yakni; partisipasi, Fasum Fasos, SLAPP, Kinerja Pemerintah Daerah Kab Bekasi terkait fasum fasos, dan siapa yang paling dirugikan secara ekonomi politik.

Partisipasi
Sebenarnya, partisipasi itu merupakan hal lumrah dan sangat biasa dilakukan melalui beragam cara, baik pendampingan warga maupun memperjuangkan hak atas fasum fasos. Kata Partisipasi selama ini diterjemahkan sebagai ‘peran serta’ atau ‘keikutsertaan’. Konsep partisipasi dalam perkembangannya memiliki pengertian yang beragam walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan.
Partisipasi merupakan salah satu pilar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Partisipasi berarti memberikan kesempatan pada semua pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam setiap tahapan perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga evaluasi suatu kebijakan. Berpartisipasi diamanatkan dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio sebagaimana disebutkan:
Environmental issues are best handled with participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.”
Gaventa dan Valderama (1999) menyatakan bahwa dalam pembangunan yang demokratis, terdapat tiga tradisi partisipasi yaitu partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga. Partisipasi dalam proses politik yang demokratis melibatkan interaksi individu atau organisasi politik dengan negara yang diungkapkan melalui tindakan terorganisir melalui pemungutan suara, kampaye, protes, dengan tujuan mempengaruhi wakil-wakil pemerintah. Partisipasi sosial dalam kontek pembangunan diartikan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai pewaris pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan di semua tahapan siklus pembangunan. Dalam hal ini partisipasi sosial ditempatkan diluar lembaga formal pemerintahan. Sedangkan partisipasi warga diartikan sebagai suatu kepedulian dengan perbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Hal yang menonjol saat ini adalah adanya partisipasi warga masyarakat untuk memperjuangkan hak atas fasum fasos perumahan.

Fasum Fasos
Departemen Pendidikan Nasional, dalam Besar Bahasa Indonesia (2016), fasilitas sosial adalah fasilitas yang disediakan oleh pemerintah atau swasta untuk masyarakat, seperti sekolah, klinik, dan tempat ibadah. Sedangkan fasilitas umum adalah fasilitas yang disediakan untuk kepentingan umum,seperti jalan dan alat penerangan umum. Fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum – fasos) adalah hak warga yang wajib dipenuhi dalam setiap pengembangan perumahan. Pengaturan tentang fasilitas umum dan fasilitas sosial ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman. Dari Undang-Undang tersebut di atas kemudian diterbitkan pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman Di Daerah yang menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 yang di anggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 merumuskan fasos-fasum dalam tiga kategori. Yaitu:
1. Prasarana lingkungan mencakup antara lain jalan, saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah (pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2009). 2. Utilitas umum, meliputi bangunan-bangunan yang dibutuhkan dalam sistem pelayanan lingkungan seperti jaringan air bersih, listrik, gas, telepon, terminal angkutan umum/bus shelter, fasilitas kebersihan/ tempat pembuangan sampah, dan pemadam kebakaran (pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009).
3. Fasilitas sosial yang dibutuhkan masyarakat di lingkungan pemukiman seperti pendididikan, kesehatan, perbelanjaan dan niaga, pemerintahan dan pelayanan umum, peribadatan, rekreasi dan kebudayaan, olahraga dan lapangan terbuka, serta pemakaman umum (pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009).
Merujuk pada ketiga poin di atas, tak lepas dari kata “Lingkungan”, yaitu prasarana lingkungan, sistem pelayanan lingkungan dan lingkungan permukiman. Dalam kaitannya dengan memperjuangkan lingkungan yang baik dengan adanya ketersediaan fasum fasos, masyarakat perumahan Bulak Kapal Permai Kabupaten Bekasi berpotensi diterapkannya SLAPP.

SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation)
SLAPP merupakan terminologi baru yang dikenal di Indonesia sejak UUPPLH disahkan. Terminologi SLAPP dikenal melalui ketentuan Pasal 66 yang berbunyi:
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Jika membaca ketentuan Pasal 66, maka akan tersirat seperti hak imunitas bagi masyarakat dan aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk terlepas dari tuntutan pidana maupun gugatan perdata. Ketentuan pasal ini memberikan perlindungan atas upaya-upaya kriminalisasi yang terjadi dalam kasus lingkungan hidup.
Secara konseptual, ketentuan Pasal 66 didasarkan dari ketentuan Pasal 65 ayat (1) yang menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”
Heinhard Steiger, et.al. sebagaimana dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri menyebutnya sebagai hak-hak subyektif (subjective rights), yaitu bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Koesnadi Hardjasoemantri kemudian menyebutkan bahwa hak tersebut memberikan kepada yang mempunyainya suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum, dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya. Tuntutan tersebut mempunyai dua fungsi, yaitu yang dikaitkan pada hak membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungannya dan yang dikaitkan pada hak menuntut dilakukannya sesuatu tindakan agar lingkungannya dapat dilestarikan, dipulihkan, atau diperbaiki.
Sebagaimana terminologinya, SLAPP pada dasarnya bertujuan untuk membungkam/mendiamkan partisipasi masyarakat. Penelope Canan dan George W. Pring, sebagaimana dikutip oleh Dwight H. Merriam dan Jeffrey A. Benson menyebutkan bahwa SLAPP merupakan tindakan dengan menggunakan mekanisme pengadilan untuk menghilangkan partisipasi publik dengan mendiamkan, mengganggu, dan menghalangi lawan politik.
Saat ini belum ada pengertian yang baku mengenai SLAPP, sehingga akan lebih mudah mengenali SLAPP melalui 4 kriteria yang disampaikan oleh George W. Pring, yaitu:
1. Adanya keluhan, pengaduan, tuntutan dari masyarakat atas dampak kerusakan yang terjadi;
2. Dilakukan terhadap masyarakat secara kolektif, individual, dan organisasi non pemerintah;
3. Adanya komunikasi yang dilakukan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang;
4. Dilakukan terhadap isu yang menyangkut kepentingan umum atau perhatian publik.
Kriteria kelima yang dapat ditambahkan bahwa SLAPP dilakukan dengan tidak berdasar dan mengandung motif politik atau motif ekonomi tersembunyi. Kriteria tersebut tentunya dapat terus berkembang mengikuti kondisi yang terjadi. Dari kriteria yang disampaikan oleh George W. Pring dapat dilihat bahwa pada umumnya yang menjadi “korban” dari tindakan SLAPP adalah masyarakat. George W. Pring dan Penelope Canan kemudian menegaskan bahwa pihak yang menjadi target SLAPP selain masyarakat biasanya adalah organisasi non pemerintah, jurnalis dan media. Pada perkembangan beberapa kasus SLAPP, pemidanaan atau gugatan yang dilakukan lebih bersifat intimidatif dan mengancam untuk menimbulkan ketakutan bagi masyarakat yang menjadi korban. Hal seperti ini menjadi salah satu contoh tindakan yang dapat menghilangkan/ membungkam partipasi publik.
Perjuangan warga masyarakat perumahan Bulak Kapal Permai yang rawan SLAPP, mengindikasikan adanya kelemahan kinerja kabupaten Bekasi dalam pengadaan fasum fasos.

Lemahnya Kinerja Pemerintah Daerah kab Bekasi
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1987 sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi Nomor 30 Tahun 1995 tentang Kewajiban Penyediaan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial bagi Perusahaan Pembangunan Perumahan di Wilayah Daerah Tingkat II Bekasi,lahan TPU harus diserahkan kepada Pemerintah Daerah saat pengajuan siteplan.
Persetujuan siteplan dilakukan oleh Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman (DTRP) (kini sudah berubah menjadi DPRKPP atau Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan), dengan sebelumnya telah memperoleh rekomendasi dari Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Sekretariat Daerah (Setda). Pengajuan persetujuan siteplan harus disertai dengan penyerahan cadangan tanah makam / Lahan TPU seluas 2% dari siteplan yang diajukan untu disetujui. Rekomendasi dari kepala Tapem Setda terbit jika pengembang telah menyerahkan cadangan TU beserta dengan dokumen pendukungnya berupa Surat Pelepasan Hal (SPH). Lahan TPU juga harus dilakukan penilaian terlebih dulu untuk dituangkan dalam berita acara. Rekomendasi dari Kepala Bagian Tapem Setda disampaikan pada DTRP (kini DPRKPP) sebagai salah satu syarat penerbitan siteplan. Proses penyerahan TPU diadministrasikan di Kabag Tapem Setda dan seanjutnya ditindaklanjuti dengan penyerahan berkas SPH dan dituangkan dalam Berita Acara kepada SKPD yang membidangi administrasi aset aset pemerintah daerah dan SKPD teknis pengelola TPU.
Permasalahan pengelolaan Fasos Fasum terkait Tempat Pemakaman umum TPU telah diungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Provinsi Jawa Barat atas LKPD Kabupaten Bekasi TA 2015, diketahui hal hal sebagai berikut, diantaranya; Sebanyak 186 pengembang belum menyerahkan cadangan lahan TPU; Terdapat selisih jumah pengembang, jumah bidang, dan luss tanah cadangan lahan TPU yang tercatat pada dtrp dengan Bagian Tata Pemerintahan Setda; dan Sebanyak 29 pengembang yang telah memperoeh izin site plan beum menyerahkan cadangan lahan TPU seluas 98.844,7 m2;
Kemudian, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPD Kab Bekasi TA 2016 terdapat data yang menunjukkan bahwa terdapat 23 pengembang yang belum selesai dalam melaksanakan proses penyerahan Fasos Fasum. Tahun 2017, DTRP berubah menjadi DPRKPP dan berdasarkan penelusuran saya ke dinas tersebut bahwa ditahun 2017 , dari ratusan pengembang baru ada 33 pengembang yang telah menyerahkan fasum dan fasos.

Siapa yang paling dirugikan?
Ekonomi politik bertujuan mempelajari dan menganalisis proses-proses sosial dan institusional dimana kelompok elite ekonomi dan politik berusaha mempengaruhi keputusan untuk mengalokasikan sumber-sumber produktif langka untuk masa sekarang atau masa mendatang, baik untuk kepentingan kelompok tersebut maupun untuk kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu ekonomi politik membahas hubungan ekonomi dan politik dengan tekanan peranan kekuasaan dalam mengambil keputusan ekonomi (Rachbini dan Bustanul, 2001: 25). Kerangka pemikiran ekonomi politik digunakan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dari belum diserahkannya fasum dan fasos oleh pengembang perumahan kepada Pemerintah KotaSurabaya, siapa saja yang mendapat keuntungan dan kerugian,serta dapat melihat implikasi apa saja yang ditimbulkan baik secara ekonomis maupun politis dari hal tersebut, terutama dengan melihat aktor-aktor yang terlibat baik dari pemerintah sendiri sebagai pembuat dan pengambil kebijakan serta pengembang perumahan sebagai pelaku ekonomi.
Belum diserahkannya fasum dan fasos oleh para pengembang perumahan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi menimbulkan banyak permasalahan, baik dalam kondisi fisik fasum dan fasos, hingga pada pemberian sanksi. Tetapi, dari belum diserahkannya fasum dan fasos ini memunculkan implikasi baik dalam hal ekonomis maupun politis yang bersifat menguntungkan dan merugikan.
Pihak yang diuntungkan yang pertama adalah pengembang perumahan sebagai pelaku usaha sebab mereka lebih menekankan kepada keuntungan. Oleh karena itu, pengembang perumahan diuntungkan dengan belum diserahkannya fasum dan fasos. Hal ini disebabkan untuk mensertifikatkan lahan fasum dan fasos sebagai syarat penyerahan kepada pemkab tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar. Tidak adanya ketegasan pemerintah kabupaten untuk menindak para pengembang perumahan yang belum menyerahkan fasum dan fasosnya tersebut, pengembang merasa diuntungkan karena beban untuk perawatan fasum dan fasos diserahkan kepada penghuni perumahan, terutama perumahan yang memiliki manajemen estat sendiri, yang kedua adalah pemerintah kabupaten, pemerintah kabupaten juga diuntungkan dari belum diserahkannya fasum dan fasos ini. Hal ini disebabkan pemerintah kabupaten tidak dibebankan biaya perawatan fasum dan fasos yang belum diserahkan. Secara tidak langsung pemerintah diringankan anggarannya dalam hal pemeliharaan fasum dan fasos.
Sedangkan yang dirugikan disini adalah penghuni perumahan, terutama penghuni yang tinggal di perumahan yang fasum dan fasosnya belum diserahkan kepada pemerintah kabupaten. Hal ini disebabkan pada perumahan yang fasum dan fasosnya tidak diserahkan kepada pemkab, untuk perawatan fasum dan fasos dibebankan kepada penghuni perumahan. Penghuni perumahan dibebankan iuran perbulan untuk perawatan fasum dan fasos, khususnya pada perumahan yang memiliki manajemen estat sendiri. Kemudian, pada perumahan yang pengembangnya telah bubar, penghuni perumahan menjadi dirugikan disebabkan misalnya kondisi fasum dan fasos yang tidak lagi prima (rusak) dan tidak ada yang bertanggung jawab dalam perawatannya. Pemerintah kabupaten tidak bisa merawat fasum dan fasos disebabkan belum adanya serah terima dari pengembang perumahan yang terdahulu. Yang parahnya lagi, developer perumahan sudah bubar, namun meninggalkan persoalan fasum fasos, seperti yang terjadi pada Perumahan Bulak Kapal Permai Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Apakah kriteria kelima SLAPP, bahwa SLAPP dilakukan dengan tidak berdasar dan mengandung motif politik atau motif ekonomi tersembunyi?
Sebagai penutup, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada proses hukum yang sedang berjalan, Sungguh Tak elok, jika partisipasi warga masyarakat dalam memperjuangkan hak lingkungan yang baik dalam hal lingkungan permukiman, dimungkinkan terjadi dikriminalisasi melalui bentuk SLAPP. Pemerintah daerah kab bekasi selama ini ngapain aja? Bekerjalah maksimal ! (*)


(Tulisan opini ini pernah dipublish di portal media online https://znews.co.id pada 30 Maret 2019)


FENOMENA KORUPSI DI DAERAH, INSPEKTORAT HARUS BERANI TUNJUKKAN TARING


Oleh: Izhar Ma’sum Rosadi
(Tulisan opini ini pernah dipublish di portal media online https://znews.co.id pada 16 Februari 2019)

Dalam konteks kehidupan di alam pemerintahan daerah, ditutupi atau tidak, ternyata korupsi juga lazim dilakukan oleh oknum aparatur pemerintah daerah, oknum DPRD dan bahkan masyarakat pelaku pembangunan yang eksis di pemerintahan daerah. Kalau dari sisi pemerintahan daerah saja terjadi korupsi yang telah membudaya, tentunya hal ini lambat laun akan memberikan warna tersendiri bagi citra pemerintahan pusat. Upaya pemberantasan korupsi di pemerintahan daerah menjadi sangat sulit karena para tokoh koruptor lokal semakin pintar berkorupsi, mereka secara bersama-sama melakukan tindakan korupsi secara sistemik dan terorganisir, bahkan dilakukan dengan sangat halus nyaris tak terlihat. Melawan arus tersebut hanya akan konyol ketika kita akan menjadi Pahlawan Kesiangan dalam pemberantasan korupsi di pemerintahan daerah.
( Foto : Izhar Ma’sum Rosadi, warga desa Segarajaya kecamatan Tarumajaya kab Bekasi Jawa Barat, pemerhati dan analis kebijakan publik, serta Ketua Umum LSM BALADAYA)

Para pembaca yang budiman, korupsi merupakan kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) dan atau kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Dalam situs Wikipedia Indonesia, disebutkan bahwa istilah KORUPSI berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio yang asalnya dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, dan menyogok. Sedangkan secara istilah, korupsi didefinisikan sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sebagai misal, fenomena dari gegap gempita ditangkapnya Bupati Bekasi non aktif beserta oknum Jajaran petinggi SKPD dan adanya indikasi keterlibatan sejumlah oknum anggota DPRD Kab/prov, juga mendagri, dalam kasus suap untuk pemulusan perijinan Mega Proyek Meikarta adalah terpuruknya kredibilitas mereka di mata masyarakat. Kasus ini mengonfirmasi sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa korupsi sudah menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite.

Korupsi tidak hanya berdampak dalam satu aspek kehidupan saja sebagaimana diterangkan oleh para ahli dalam banyak riset dan penelitian. Korupsi menimbulkan domino effect yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya praktik korupsi di suatu kabupaten akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, harga barang-barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses warga terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu daerah akan terancam, citra penyelenggara pemerintahan yang buruk akan menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal, wal hasil krisis ekonomi akan menjadi berkepanjangan,dan kabupaten pun menjadi lemah dalam menghadapi persaingan global.

Benarkah bersihnya pemerintah dari kasus korupsi hanya menjadi sebuah mimpi? Sebagai contoh, Akankah slogan Bekasi Baru Bekasi Bersih hanya akan menjadi slogan belaka atau mimpi belaka? Memang tidak mudah memberantas korupsi. Ia sudah menjadi penyakit sosial yang selama sekian puluh tahun dianggap “wajar”. Namun sesulit apapun, pemberantasan korupsi harus terus diupayakan dengan berbagai cara. Lantas kapan kabupaten kita ini akan terbebas dari korupsi? Entahlah, pertanyaan ini yang mungkin sulit untuk dijawab.

Mencoba teriak korupsi dalam lingkup pemerintahan, mungkin saja anda akan dijuluki Pahlawan Kesiangan yang akan dimusuhi oleh semua unsur pemerintah dan masyarakat.
Apalagi jika berani melaporkan terjadinya korupsi ??? mungkin hanya akan membuat anda konyol di tengah cengkraman politisasi birokrasi yang kokoh dan sulit ditembus. Tapi apakah kita akan terus diam, melihat kedzaliman ini?

Tentu tidak ! Jika Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa jika ada pungli PTSL, Laporkan saja. Saya pun segera melaporkan satu temuan dugaan pungli PTSL beberapa waktu yang lalu, dan kini sedang menunggu hasil atas laporan tersebut. Pun demikian, sebagai warga bekasi, saya telah memberikan informasi untuk ditindaklanjuti berupa dugaan tindak pidana korupsi berupa Anggaran Ganda bagian pemerintahan umum setda kabupaten Bekasi 2016 sebagai langkah tindaklanjut atas rekomendasi KPK beberapa saat yang lalu, bahwa hal yang dilaporkan tersebut sebagai informasi untuk APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintahan Daerah) setempat atau Inspektorat. Selain itu juga, melaporkan dugaan korupsi pada program pembangunan Pagar Keliling ara panjat tebing Gedung Olahraga Raga Wibawamukti 2018.

Semakin maraknya pejabat daerah yang tersangkut korupsi menunjukkan bahwa inspektorat daerah tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias mandul. Jangankan menjadi lembaga kontrol yang efektif, mencegah dan menindak penyimpangan aparat birokrasi justru menjadi bagian dari masalah dalam tindak penyimpangan di birokrasi. Aparatur inspektorat daerah dinilai tidak mampu berbuat apa-apa ketika ada dugaan penyimpangan dan korupsi di tubuh birokrasi pemerintahan. Misalnya, di dinas-dinas dan/atau yang menyangkut kepala daerah sendiri (gubernur dan bupati/wali kota).
Pembaca yang budiman, menyikapi fenomena itu, meskipun secara struktural memang posisi inspektorat daerah itu adalah bagian dari pemerintah atau eksekutif bahwa kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) menduduki posisi sebagai pelindung atau Pembina, dalam menjalankan tugasnya seyogyanya dapat menjalankan tgas secara efektif agar tidak mandul. Dalam konteks ini, dalam mengawasi atau memeriksa dugaan penyimpangan di tubuh birokrasi pemerintah (di dinas-dinas, misalnya) jika pihak yang akan diawasi atau diperiksa adalah atasannya sendiri atau mungkin temannya sendiri. Dalam kondisi demikian, inspektorat daerah jangan merasa ewuh pakewuh atau segan untuk memeriksa dan menindaklanjuti dugaan penyimpangan, termasuk dugaan korupsi.

Sebagai warga kabupaten bekasi, saya berharap agar Inspektorat menindaklanjuti informasi dari kami selaku masyarakat dan bekerja sesuai dengan tupoksinya dalam rangka pemberantasan korupsi. Jadi, adagium bahwa mengungkap ’’borok’’ birokrasi berarti mengungkap ’’aib’’ teman sendiri, tak perlu digunakan lagi. Fungsi-fungsi dan peran pengawasan serta pemeriksaan yang selama ini dilakukan inspektorat daerah seyogyanya tidak sekadar formalitas belaka. Ketika harus berhadapan dengan kasus penyimpangan atau dugaan korupsi di birokrasi pemerintah, inspektorat daerah harus mampu menunjukkan ’’taringnya’’. Jika tak mampu menunjukkan “taringnya”, gagasan untuk membentuk KPK di daerah menjadi sebuah keniscayaan. (*)

Senin, 17 Desember 2018

KEPALA DESA, BERANI TRANSPARAN?

Oleh : Izhar Ma'sum Rosadi*


Pemerintah mencanangkan Program Nawa Cita ke-3 yaitu “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan memperkuat daerah–daerah dan Desa dalam kerangka Negara Kesatuan”, sesuai dengan hal itu diperlukan tata kelola Pemerintahan Desa yang baik, dengan dukungan Aparatur Desa yang berkualitas dan kompeten dibidangnya, khususnya Kepala Desa. Kepala Desa adalah pemimpin di Pemerintahan Desa yang memiliki peran sebagai decision maker, strategic positioner, dan change agent untuk para Aparatur Desa yang lain. Kepala Desa harus memiliki manajemen pengetahuan yang baik dan pengalaman yang sesuai dengan jabatan yang diemban, seperti sistem pengelolaan keuangan, manajerial organisasi, perilaku organisasi, dan manajemen kinerja yang baik. Tugas dan wewenang Kepala Desa yang secara langsung berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki diantaranya adalah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, menetapkan Tupoksi Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa, dan menyetujui pengeluaran yang ditetapkan dalam APBDes. Selain itu terdapat, setidaknya tiga “Kaidah-Kaidah Emas” yang kepala desa yang wajib pahami, yakni larangan agama perihal korupsi, mandat undang-undang, dan transparansi.

Larangan Tuhan perihal Manipulatif dan Korupsi

Tahun ke tahun, Aokasi Dana Desa (ADD) yang disalurkan semakin meningkat. Namun, dari tahun ke tahun pula selalu tercium tindak penyelewengan dana desa. Melihat kasus yang terjadi maka harus dilakukan pengawasan yang tetap dan memerlukan langkah kreatif dalam mengatasi masalah tersebut. Selain tindak manipulatif dan penyelewengan, kecenderungan tidak efisiensi ADD didasari oleh pemborosan dalam memperhitungkan alokasi keuangan untuk membiayai pembangunan dan aktivitas pemerintah desa, tidak cermat mengkalkulasi kapasitas keuangan serta tingkat prioritas pendanaan, sehingga pencapaian sasaran tidak optimal. Tindakan demikian merupakan faktor etika dalam diri eksekutor yang mengarah kepada tindak manipulatif dan korupsi oleh pejabat desa. Tuhan melarang manipulatif dan korupsi, di semua agama apapun. Tindak manipulasi dan  korupsi kecil yang berdampak besar merupakan salah satu kerusakan mental yang menjadi penghambat serius bagi tingkat efisiensi dana desa meski sangat jelas dalam Islam bahwa manipulatif dan korupsi merupakan tindakan terlarang dan diharamkan oleh Allah SWT, seperti yang terkandung QS An-Nisa (4:29), yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Jelas bahwa dalam Ayat di atas, Allah SWT mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Selain itu, penyelenggaran pemerintahan desa yang baik seharusnya berpondasi yang kuat, sebab kerusakan mental seorang pemimpin akan merusak bumi dan seisinya, seperti yang terkandung dalam ayat Q.S. Ar Ruum (30:41) yang artinya “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Ayat tersebut, Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua kerusakan yang terjadi di muka bumi dalam berbagai bentuknya, penyebab utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat dilakukan tangan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat manusia adalah inti “kerusakan” sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.

Mandat Undang Undang

Adanya dana desa yang disalurkan keseluruh desa di Indonesia dengan tujuan pemerataan pembangunan mulai dari tingkat bawah sampai pusat, maka pemerintah menerbitkan Undang- Undang (UU) Desa Nomor 6 Tahun 2014. Sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Desa, pemerintah desa kini dituntut untuk memberlakukan keterbukaan informasi publik. Maksud dari diadakannya keterbukaan informasi publik pada pemerintahan desa agar warga desa mengetahui berbagai informasi tentang kebijakan dan pembangunan desa sehingga akan terbangun akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Adapun UU Desa yang mengatur tentang keterbukaan publik terdapat dalam beberapa pasal seperti pasal 24 asas penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asas salah satunya adalah keterbukaan, pasal 26 ayat (4) huruf f Dalam melaksanakan tugas, Kepala Desa berkewajiban melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. kemudian dalam pasal 27 huruf c dan d kepala desa wajib memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran dan memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.

Menilik pada pasal 68 ayat (1) huruf a berbunyi masyarakat desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan Pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa dan yang terakhir pasal 86 ayat (1) Desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan (5) Sistem informasi desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan.

Transparansi

Keterbukaan informasi desa mengarah pada bentuk transparansi. Transparansi berarti keterbukaan (openness). Seorang pakar transparansi Florini (2007) sebagaimana dikutip Subhan dalam bukunya yang berjudul ”Jaringan Transparansi Multi Arah” menguraikan Transparansi sebagai derajat ketersediaan informasi bagi pihak luar (outsider) yang menjadikan mereka mampu mengetahui proses pengambilan keputusan dan untuk menilai keputusan yang dibuat. Dengan demikian Transparansi dalam konteks penggunaan dana Desa berarti bentuk keterbukaan pemerintah Desa dalam mengungkapkan berbagai proses, kegiatan dan hasilnya kepada stakeholder dan masyarakat desa. Tujuannya agar masyarakat desa dapat mengetahui sejauhmana kegiatan dan hasil  pembangunan dengan mengunakan dana Desa yang bersumber dari APBN itu telah dicapai. Transparansi juga berarti adanya kesediaan pemerintah Desa dalam memberikan informasi yang terkait dengan penggunaan dana Desa khususnya kepada masyarakat Desa dan kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Beberapa manfaat yang didapat jika transparansi ini dilaksanakan, antara lain; Menciptakan horizontal accountability antara pemerintah Desa dengan penduduk Desa dan pihak-pihak lain sehingga tercipta pemerintahan yang transparan, efisien, efektif dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat Desa; Menciptakan hubungan harmonis antara pemerintah Desa dengan masyarakat Desa dalam mendukung pengambilan keputusan yang ekonomis untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan Desa; Membandingkan kinerja anggaran / penggunaan anggaran dan untuk menilai kondisi dana dengan hasil yang dicapai, sehingga berguna untuk menyusun prioritas anggaran untuk mewujudkan program yang diprioritaskan; Dan sebagai kontrol publik terhadap pemerintah Desa.

Realita pada dimensi larangan Tuhan perihal korupsi, pemahaman akan mandat UU, dan dimensi transparansi ini dapat dikatakan ketiga hal tersebut belum optimal. Ditandai dengan masih adanya Kepala Desa yang tersangkut kasus korupsi, kepala desa berlatarbelakang pendidikan agama namun belum berani transparan, dan mayoritas masyarakat Desa kurang mengetahui dan memahami substansi mengenai dana Desa, penggunaannya untuk apa, dan siapa yang menjadi sasaran. Sebagian besar desa masih enggan menjalankannya. Bahkan sebagian besar desa seperti sengaja menutupi urusan penggunaan dana desa. Ketertutupan soal dana dianggap sebagai bagian dari supremasi pemerintahan desa dan merasa urusan bagaimana pemanfaatan dana desa adalah urusan elit desa. Akibatnya, berpotensi terjadinya penyalahgunaan dana menjadi sangat besar karena warga desa kesulitan mengontrol penggunaan dana. Bagaimana bisa mengawasi jika mereka tidak paham program apa saja yang bakal dijalankan dan berapa besaran biayanya tak pernah dibuka.
Bukan hanya rentan manipulatif dan korupsi tetapi cara itu membuat partisipasi masyarakat terhadap pembangunan desa menjadi lemah. Pemerintah desa seperti berjalan sendiri dan warga juga menjadi tidak terlalu peduli. Akibatnya, desa berkembang dengan lambat untuk menjadi Desa Maju dan Mandiri.

Oleh karena itu, maka perlu adanya perbaikan mental  dan sepatutnya pemerintah Desa harus membuka ruang komunikasi yang lebih luas kepada masyarakat Desa dan pihak-pihak yang berkepentingan sehingga dapat mengakses perkembangan pembangunan yang menggunakan dana Desa. Misalkan melalui infografis. Infografis tersebut dapat dalam bentuk softcopy yang dipublish melalui media sosial Twitter, Instagram dan Website resmi desa sedangkan yang hardcopy dicetak dalam bentuk banner dan dipasang di kantor kepala desa, sementara hardcopy laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa dapat diberikan kepada tokoh masyarakat dan stakeholders. Hanya Kepala Desa yang Berani Transparan yang akan melakukan itu ! (Penulis adalah Kritikus, Aktivis, Ketua Umum LSM Baladaya dan terlahir di desa dan kini mukim di desa Segarajaya kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Penulis dapat dihubungi melalui izhar.mr@gmail.com)

Senin, 03 Desember 2018

NHY TERSANGKA, KPK PATUT DIAPRESIASI

NHY TERSANGKA,KPK PATUT DIAPRESIASI

Oleh Izhar Ma’sum Rosadi, (Ketua Umum LSM BALADAYA)

(Tulisan ini pernah dipublished di portal media online znews.co.id pada 17 November 2018)

Satu lagi politisi Partai Golkar tersandung kasus hukum. Neneng Hasanah Yasin (NHY) resmi menjadi tersangka KPK dalam kasus Meikarta. Dia akan menjalani hari-hari berat dan terjal yang tak semata dirasakan dirinya melainkan juga keluarga bahkan partai tempat dia bernaung saat ini. 
Dampak dari gegap gempitanya operasi tangkap tangan sejumlah birokrat Bekasi yang melibatkan NHY, adalah terpuruknya kredibilitas birokrat eksekutif di kabupaten Bekasi. Kasus NHY menjadi “gempa dan tsunami” yang memporak-porandakan citra dan reputasi. Kasus ini mengonfirmasi sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa kleptokrasi sudah menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi eksekutif. Kejahatan tingkat atas (top-hate crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite. Kekuasaan untuk kesekian kalinya menjadi elegi atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita terutama bagi mereka yang tak mau atau tak mampu mengendalikan kuasa di genggamannya, yang terjebak dalam kleptokrasi.

Istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri mereka sendiri. Praktik korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang mempengaruhi kebijakan. Pemikir Prancis, Frederic Bastiat mengatakan, jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi. Sementara Stanislav Andreski dalam buku lawasnya Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)  menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah memperkaya diri.

Jika pun harus ada pihak yang patut diapresiasi dalam penetapan NHY sebagai tersangka, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lah yang patut mendapatkannya. Sejarah telah ditorehkan KPK, karena baru kali ini sejak lembaga ad hoc untuk penumpasan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) berupa korupsi ini berdiri di Indonesia, melakukan OTT di Kabupaten Bekasi  dan menetapkan NHY sebagai tersangka. Paling tidak, upaya ini menunjukkan secara gamblang niat baik KPK untuk tidak melakukan obstruction of juctice. Dalam konteks penegakkan hukum, obstruction of juctice menyebabkan pengadilan dan pertanggunganjawaban pidana hanya berlaku pada orang-orang korup tetapi tak berkuasa. Sementara mereka para ”Al Capone”  yang memiliki kuasa atau pengaruh atas kekuasaan politik dan hukum, tetap tak tersentuh meski sejumlah data telah menunjuk hidung mereka sebagai pelaku bahkan otak tindakan korupsi. Mereka inilah yang kerap dilabeli sebagai The Untouchable.
Sudah terlalu lama publik di kabupaten Bekasi skeptis dengan reputasi para penegak hukum. Sehingga proses-proses hukum yang sekarang berjalan di KPK seolah menjadi ’oase’ dalam pemberantasan korupsi. Kini kasus Meikarta yang sudah menyentuh NHY, menjadi indikator menggeliatnya KPK. Perang melawan korupsi telah dimasukkan ke dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tentu kelahiran KPK bukan karen alasan biasa, lembaga ini diharapkan mampu melakukan cara-cara luar biasa untuk membatasi pergerakan, modus, jaringan dan lain-lain dari sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang dianggap sudah meluas dan sistematis. Sehingga diperlukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan yang juga luar biasa. Dalam membangun reputasi kelembagaan sangat penting bagi KPK untuk menunjukkan imparsialitas sekaligus profesionalitas mereka dalam bekerja termasuk saat mereka harus berhadap-hadapan dengan orang yang sedang dalam kekuasaan, seperti dalam kasus Meikarta ini.publik juga mengharapkan agar KPK mampu mengurai persoalan korupsi di kabupaten Bekasi hingga ke Pemegang Kuasa di level Desa. 

Penetapan tersangka tentu buka  akhir cerita bagi NHY. Dalam negara hukum, NHY masih memiliki peluang untuk melakukan pembelaan-pembelaan. Penetapan NHY sebagai tersangka juga bisa menjadi pintu masuk pengembangan kasus ini ke anak tangga berikutnya. Lazimnya, modus korupsi politik itu tak pernah dilakukan oleh aktor tunggal, melainkan dilakukan oleh satu stelsel aktif secara “berjamaah”. Kerap muncul esprit de corps dari para pelaku korupsi politik dengan cara saling melindungi.  Tetapi biasanya, pertahanan mereka akan bobol dengan sendirinya, jika kekitaan di antara mereka tercerai berai akibat skenario penyelamatan diri masing-masing.

Kini, mengerjakan pemulihan lebih berat dan lebih susah dibanding memporak-porandakannya. Puing-puing kehormatan birokrasi pemerintahan Daerah kabupaten Bekasi hanya bisa direkatkan ulang oleh sosok-sosok berintegritas. Ditunjuknya Eka menjadi plt Bupati Bekasi, selazimnya harus mampu memperbaiki sistem yang bobrok! (***)

Senin, 02 April 2018

Indomart PT Tesco Indomaritim seyogyanya Hormati Hak Hak Warga Sekitar


Oleh Izhar Ma'sum Rosadi, S.IKom (Pemerhati Sosial dan Lingkungan)

PT Tesco Indomaritim merupakan sebuah perusahaan pembuatan kapal yang sedang berkembang dan melakukan inovasi pembangunan yang berada di Kp Pasar Emas Muara Bakti Babelan Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Salah satu pembangunan yang dilakukan adalah oembangunan sebuah mini market, Indomart.
Bahwa demi terciptanya iklim usaha yang kondusif dan mendorong tumbuh  serta berkembangnya Usaha kecil dan menengah di Indonesia, terdapat berbagai peraturan, yang mana kita pahami bersama bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Diantara peraturan tersebut, misalnya Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2007 dan Peraturan Bupati No 16 tahun 2007 tentang Minimarket. 
Pertama, Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2007 menyebutkan bahwa keuntungan besar bagi  pengusaha ritel modern untuk membangun kuasa pasar (market power). Pemerintah kabupaten/kota, memiliki kuasa memberikan izin usaha kepada pengusaha. Untuk minimarket, izin yang  diperlukan adalah Izin Usaha Toko Modern (IUTM) Dalam pasal 13, Perpres 112, tertuang ketentuan mengenai permintaan IUTM, dimana  pemohon wajib melengkapinya dengan studi kelayakan termasuk analisis mengenai dampak  lingkungan, terutama aspek sosial budaya dan dampaknya bagi pelaku perdagangan eceran setempat  dan rencana kemitraan dengan Usaha Kecil.
Kedua, Peraturan Bupati Bekasi No 16 tahun 2007 tentang Minimarket, bahwa  dalam hal; perlunya  dilakukan upaya pengendailan usaha minimarket yang dapat bersinergi dengan pengusaha lokal dalarn rangka pertumbuhan dan pemerataan  pendapatan yang mengarah pada perkembangan perekonomian di Daerah; dan untuk mewujudkan keseimbangat usaha serta pemberdayaan pedagang  kecil, dilakukan pengaturan mengenai ketentuan penyelenggaraan usaha  minimarket.
Pasal 9 perbup Bekasi no 16 tahun 2007 menyebutkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan usaha dagang minimarket dan sejenis  lainnya, jarak sarana/tempat usaha harus memenuhi persyaratan, diantaranya; Usaha dagang minimarket yang luas lahannya 100 M2 sampai dengan 200 M2; dan Penempatannya terletak di sisi jalan lokal primer/jatan raya atau utama kawasan perumahan/industri yang disesuaikan dengan paruntukannya dan dilengkapi dengan persetujuan pedagang kecil sejenis dalam radius paling jauh 200 meter.
Penulis mengamati bahwa keberadan Indomart PT Tesco Indomaritim menuai kritikan warga sekitar, dimulai sejak pembangunannya hingga pada saat pemasangan Reklame-nya. Pada hari Kamis 29 Maret 2018 sejumlah warga sekitar mendatangi Indomart tersebut dan memrotes berbagai hal, diantaranya adalah persetujuan lingkungan.  
Dian Surahman, salah satu warga sekitar, menyatakan bahwa, “saya tidak anti pembangunan, namun proses izin lingkungan yang telah dikangkangi oleh Top Manajemen terhaadap inovasi pengembangan pembangunan. Pada awal September 2017 kami beberapa warga telah bersurat  namun kerapkali dihadang oleh pihak ihak yang tidak bisa mengambil keputusan, dan sebelum Reklame Indomart didirikan, Bpk Isman Kimung, Bpk Kainan pemilik usaha kecil dan engkong perang sering menanyakan perihal pembangunan tersebut dan dihadapi oleh Pihak Pengamanan dari Perusahaan.”
Selanjutnya, Jeje (warga sekitar) menyatakan bahwa “Jadi adanya bahasa dari oknum perwakilan manajemen PT Tesco Indomaritim, bahwa  ‘kalau tidak mau terganggu bising dan debu..ya jangan tinggal di pinggir jalan’,  saya merasa kecewa dengan bahasa seperti itu, Saya lahir dan besar di pinggir jalan karena rumahnya memang di pinggir jalan.”
Mengkaji pada dua pendapat warga di atas, penulis berpendapat bahwa dalam suatu rencana pembangunan seyogyanya pemrakarsa menghormati hak hak adat masyarakat sekitar melalui melakukan sosialisasi terlebih dahulu dan meminta persetujuan warga sekitar secara transparan, bukan dengan cara “meng-akal-akali” persetujuan warga sekitar.