Kamis, 18 April 2019

POTENSI HOAX INFORMATION BY SOURCER PADA BERITA MEDIA SOSIAL HUMAS PEMERINTAH KABUPATEN BEKASI; Kritik atas Diraihnya Penghargaan PRIA Awards 2019

Oleh : Izhar Ma’sum Rosadi


(Kritikus, Aktivis, Ketum LSM BALADAYA, Warga Desa Segarajaya Kecamatan Tarumajaya Kab Bekasi)

Pendahuluan

Pada 28 Maret 2019 yang lalu, Pemerintah daerah Kabupaten Bekasi Raih penghargaan Bronze winner bidang media sosial sub kategori pemerintah daerah, dalam acara Public Relations Indonesia Awards (PRIA ) 2019. PRIA merupakan penghargaan ajang bergengsi dan komprehensif bagi pelaku kehumasan di Indonesia. Humas atau Hubungan Masyarakat seringkali diistilahkan dengan Public Relations atau PR. Salah satu kerja humas adalah publisitas. Publisitas merupakan alat yang penting bagi kegiatan kehumasan di dalam aspek perekayasaan opini publik terhadap suatu lembaga di dalam pembentukan citra seperti yang diungkapkan Anwar (1974) bahwa publisitas merupakan salah satu kegiatan humas di dalam hal memberikan penerangan kepada publiknya. Di dalam hal ini publisitas merupakan teknik penyampaian informasi yang mengandung nilai serta unsur-unsur berita yang disusun sedemikian rupa hingga dapat menarik perhatian khalayak di dalam mengetahui persuasi bagi kepentingan seseorang, instansi, organisasi, atau  suatu badan. Tak hanya pada organisasi swasta, di instansi pemerintah daerah pun terdapat humas. 
Sam Black  menyebutkan di dalam (Effendy, 2006) bahwa ada empat tujuan utama humas pemerintahan daerah, yakni, pertama, Memelihara penduduk agar tahu jelas mengenai kebijaksanaan lembaga beserta kegiatannya sehari-hari; kedua, Memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pandangannya mengenai proyek baru yang penting  sebelum lembaga mengambil keputusan; Ketiga, Memberikan penerangan kepada penduduk mengenai cara pelaksanaan sistem pemerintahan daerah dan mengenai hak-hak dan tanggung jawab mereka; dan terakhir, Mengembangkan rasa bangga sebagai warga negara. Humas pemerintah daerah kabupaten Bekasi, melalui media sosial website resminya, dapat berperan menyebarluaskan kebijakan pembangunan pemerintah menjadi pesan pembangunan. Namun, humas pemerintah kabupaten Bekasi pada 14 Februari 2019 merilis berita dengan judul” “DISPERKIMTAN TAGIH KEWAJIBAN PENGEMBANG SOAL FASOS FASUM”. Berdasarkan pada pengamatan awal, peneliti melihat adanya kelemahan dalam akurasi data dari narasumber, yang dapat menyebabkan sesat informasi ditengah-tengah harapan masyarakat akan meningkatnya kinerja pemerintah dalam pelayanan lingkungan perumahan yang memadai.

Melalui artikel ini penulis mencoba menggambarkan Potensi Hoax Information by Sourcer pada Berita Media Sosial Humas Pemerintahan Daerah Kabupaten Bekasi; Kritik atas Diraihnya Penghargaan PRIA Awards 2019. Uraian dilakukan berdasarkan hasil analisis isi berita terhadap bahan primer dan sekunder yang berhasil diinventarisasi serta sumber pustaka lainnya yang berhasil ditelusuri.
Pokok permasalahan yang dicoba diulas dalam tulisan ini adalah Bagaimana kecenderungan potensi hoax information by sourcer pada berita “DISPERKIMTAN TAGIH KEWAJIBAN PENGEMBANG SOAL FASOS FASUM “.
Sebelum masuk pada pembahasan, ada baiknya melihat metode penelitian. Penelitian ini dilaksanakan melalui kajian literatur dengan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menganalisis bagaimana kecenderungan potensi hoax information by sourcer pada berita “DISPERKIMTAN TAGIH KEWAJIBAN PENGEMBANG SOAL FASOS FASUM “.sehingga bisa memberikan sentuhan penting bagi perubahan sosial di kabuopaten Bekasi. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menjelaskan suatu peristiwa yang operasionalisasinya berkisar pada pengumpulan data, pengolahan data dan penafsiran data yang diberi makna secara rasional dengan tetap memegang prinsip-prinsip logika sehingga terbentuk kesimpulan yang holistik. Tujuan lain dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan, faktual dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Sedangkan penelitian eksploratif bersifat terbuka bertujuan untuk membangun suatu teori setelah melalui pengamatan empiris. masalah konseptual entang analisis isi berita. Tentu, agar kita bisa membedakan fakta dengan opini, dengan menganjurkan agar pembaca berita untuk tidak menelan mentah-mentah ucapan seorang narasumber yang dikutip oleh situs berita.

Memahami hoax

Hoaks sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Kata hoaks jika ditelusuri dari sejarah asal katanya pertama kali populer digunakan pada pertengahan hingga akhir abad ke-18. Berasal dari kata yang kerap digunakan para pesulap yakni hocus pocus. Istilah hocus pocus sendiri pertama kali muncul awal abad ke-17. Dalam Cambridge Dictionary (2017), disebutkan hoaks adalah rencana menipu sekelompok besar orang. Intinya hoaks adalah informasi yang tidak berdasarkan fakta atau data, tetapi tipuan dengan tujuan memperdaya masyarakat dengan model penyebaran informasinya yang masif.
Dengan demikian, ada dua karakter menonjol dari hoaks ini, yakni selalu direncanakan dan kebohongannya ditunjukkan untuk memapar banyak orang dalam waktu bersamaan. Strategi mengelola bisnis hoaks dilakukan terencana, terorganisasi, dan memanfaatkan ceruk 'pasar' konsumen dan produsen informasi di media sosial yang abai dengan literasi digital, literasi informasi dan juga literasi politik. Kalau ilihat dari modusnya, para pelaku bukan semata-mata mahir menebar berita palsu, ujaran kebencian, dan 'menggoreng' isu, mela inkan juga terkoneksi ke jejaring politik dan sepertinya punya stelsel aktif para petualang di belakang layar.
Model hoax ini sangat berbahaya bagi masa depan Kabupaten Bekasi. Terutama, Modus hoax untuk
mendapatkan pasar karena tiga faktor. Pertama, pola konsumsi dan distribusi informasi di media daring yang memindahkan cara bercerita dan bertukar gosip serta rumor dari mulut ke mulut menjadi tautan informasi yang menyesaki lini massa media sosial. Tak dimungkiri, meminjam istilah Walter Fisher, sebagaimana dikutip Julia T Wood, Communication Theories in Action (2004), manusia adalah homo narrans alias makhluk pencerita. Kerap kali, karena keinginan bercerita dan bergosip yang tak diimbangi dengan literasi digital, informasi, dan politik inilah, warga internet (netizen) menjadi mata rantai bekerjanya penggiat hoaks. Kedua, cara berkomunikasi yang diarahkan mental bigot. Istilah bigot merujuk pada orang yang memiliki dasar pemikiran bahwa siapapun yang tak memiliki kepercayaan yang sama dengan dirinya adalah orang atau kelompok yang salah. Ketiga, agenda politik yang berimpitan dan tidak dibarengi dengan kedewasaan dalam menyikapinya. Salah satu referensi agar seseorang memiliki literasi informasi memadai, dapat mengadopsi dari Seorang guru,
Scott Bedley mengajar kepada murid muridnya untuk menggunakan 7 cechk list saat mereka membaca artikel di media sosial atau internet. (Ina, 2019)
1. Apakah kamu mengetahui sunber dari berita? Apakah sumbernya berasal dari berita yang terkemuka?
2. Bagaimana kamu membandingkan berita itu dengan apa yang telah kamu ketahui?
3. Apakah informasi atau berita itu masuk akal? Apakah kamu memahami informasi itu?
4. Apakah kamu sudah memverifikasi berita itu dengan tiga tau sumber-sumber yang linnya yang dapat
dipercaya?
5. Apakah para ahli dlma bidng it telah dihubungi untuk memberikan informasi yang otentik?
6. Apakah informasi itu akurat?
7. Apakah informasi itu hanya sebuah copy paste?

Memahami Analisis Isi

Kerlinger (Flournoy, 1989) mengatakan bahwa Analisis isi adalah suatu metode untuk mengamati dan mengukur isi komunikasi. Tidak seperti mengamati langsung perilaku orang atau meminta orang untuk menjawab skala-skala, atau mewawancarai orang. Sang peneliti mengambil komunikasi-komunikasi yang telah dihasilkan oleh orang dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang komunikasi-komunikasi itu. Guido Stempel juga menguraikan “Analisis isi sebagai sistem formal untuk melakukan sesuatu yang dilakukan oleh kita semua secara informal tetapi tidak sering-sering, menarik kesimpulan-kesimpulan dari pengamatan-pengamatan isi.”
Pada salah satu strategi penulisan humas untuk merancang suatu pesan di dalam bentuk informasi atau berita, Harwood Childs mengatakan (Ruslan, 2004) sebagai komunikator handal diperlukan untuk mengemukakan suatu fakta yang jelas dan rasional di dalam mengubah opini publik melalui berota atau statement yang dipublikasikan. Untuk melihat profil wacana selalu mengandalakan adanya pembicaraan atau penulisan oleh sebab itu peneliti menggunakan model analisis Halliday (Kriyantono,2006) yang mencakup tiga unsur yakni:
a. Medan wacana (field of discourse): tindakan social yang sedang terjadi atau dibicarakan, aktivitas di mana para pelaku terlibat didi dalamnya, serta praktik-praktiknya yang terlihat di dalam teks.
b. Pelibat wacana (tenor of discours): pihak-pihak (pembicara dan sasaran) yang terlibat di dalam pembicaraan serta kedudukan dan hubungan diantara mereka. Termasuk menunjuk pada orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka. Dengan kata lain, siapa saja yang dikutip dan sebagaimana sumber itu digambarkan sifatnya.
c. Mode wacana (mode of discourse): pilihan bahasa,termasuk gaya bahasa yang digunakan bersifat eksplanatif, deskriptif, persuasive, hiperbolis, dan lainnya serta bagaimana pengaruhnya.
Kajian penelitian ini merujuk pada kerangka konseptual di atas, untuk kemudian membahasnya pada bagian pembahasan mengenai analisis isi berita berikut ini.

Potensi Hoax Information by Sourcer pada Berita Media Sosial Humas Pemerintahan Daerah Kabupaten Bekasi; Kritik atas Diraihnya Penghargaan PRIA Awards 2019

a. Analisis Isi Berita Humas Protokoler Sekretariat Daerah Kabupaten Bekasi mengenai Fasos Fasum

Pada 14 Februari 2019 humas dan protokoler sekretariat Daerah Kabupaten Bekasi telah merilis berita dengan judul” PEMKAB BEKASI TAGIH FASOS FASUM DARI PENGEMBANG”. Adapun ini berita tersebut adalah sebagai berikut :
“BEKASI – Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Disperkimtan) Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menagih janji para pengembang perumahan setempat untuk segera menuntaskan kewajibannya.
"Kewajiban yang harus dipenuhi pengembang adalah ketersediaan lahan fasilitas social dan fasilitas umum (fasos dan fasum) untuk diserahkan kepada kami," kata Kepala Disperkimtan Kabupaten Bekasi, Iwan Ridwan di Cikarang, seperti dilansir dari Antara, Selasa (19/2) malam.
Ia menjelaskan, perihal lahan fasos dan fasum sebenarnya telah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 2009. Yakni pengembang wajib menyerahkan lahan fasos dan fasumnya kepada pemerintah.
"Kita sudah panggil dankita imbau para pengembang perumahan, namun masih saja banyak yang belum memenuhi kewajibannya," kata dia.
Dari total ratusan pengembang perumahan yang menjalankan usahanya di Kabupaten Bekasi, sejauh ini baru 36 pengembang yang sudah menyerahkan lahan fasos dan fasum kepihaknya.
"Bahkan keberadaan pengembang di sini sudah berpuluh-puluh tahun, sementara Dinas kami baru dua tahun berdiri. Makanya akan terus kita tata dan monitor seluruhnya agar data kita valid," jelas Iwan.
Menurutnya, kelemahan pemerintah daerah untuk menertibkan persoalan ini adalah tidak adanya penerapan sanksi di dalam regulasi yang mengaturnya.
Sanksi yang dimaksudkan itu apakah masuk dalam pidana atau perdata bagi pengembang yang enggan menyerahkan lahan fasos dan fasum atas lahan yang mereka kerjakan.
"Ini yang membuat kami kesulitan untuk memaksa mereka menyerahkan lahan fasos dan fasum, tidak ada kejelasan mengenai sanksi karena tidak diatur dalam Permendagri itu sendiri," jelasnya.
Ia menambahkan, di tahun 2018 saja, dari enam pengembang yang dipanggil pihaknya, baru satu pengembang  yang menyatakan kesanggupannya untuk merealisasikan penyerahan lahan tersebut. 
Iwan menargetkan pada tahun 2019 ini, minimal ada 10 pengembang yang menyerahkan kewajiban fasos dan  fasum kepada pemerintah daerah. 
"Karena mereka sudah seharusnya menyerahkan saat awal mengurus perizinannya," tandas Iwan. 
(JendaMunthe)” 

Analisis isi adalah suatu metode untuk mengamati dan mengukur isi komunikasi (Kerlinger Flournoy, 1989. Peneliti mengambil komunikasi-komunikasi yang telah dihasilkan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang komunikasi-komunikasi itu. Penelit imenggunakan model analisis Halliday (Kriyantono,2006) yang mencakup tiga unsure yakni:

1. Berdasarkan pada Medan Wacana (field of discourse)
Memberikan keterangan kepada media dan mempublikasikannya melalui media merupakan sebuah tindakan sosial. Disperkimtan memberikan keterangan tentang pemerintah daerah kabupaten bekasi menagih fasos fasum ke pengembang yang ada di Kabupaten Bekasi ke media Antara dan selanjutnya dikutip oleh Humas dan protokoler pemeritah daerah kabupaten bekasi dengan mem publish nya melalui website Https://humas.bekasikab.go.id

2. Pelibat wacana (tenor of discourse)
Pihak-pihak (pembicara dan sasaran) yang terlibat di dalam pembicaraan adalah Kepala Disperkimtan
Kabupaten Bekasi, Iwan Ridwan. Dan sasaran pembicaraan adalah para pengembang, serta publik pembaca berita.
Harwood Childs mengatakan (Ruslan, 2004) sebagai komunikator handal diperlukan untuk mengemukakan suatu fakta yang jelas dan rasional di dalam mengubah opini publik melalui berita atau statement yang dipublikasikan. Dalam hal materi yang disampaikan oleh Kadisperkimtan memunculkan bias informasi.
Seperti pada kutipan dibawah ini.
“Menurutnya, kelemahan pemerintah daerah untuk menertibkan persoalan ini adalah tidak adanya
penerapan sanksi di dalam regulasi yang mengaturnya.
Sanksi yang dimaksudkan itu apakah masuk dalam pidana atau perdata bagi pengembang yang enggan menyerahkan lahan fasos dan fasum atas lahan yang mereka kerjakan.
"Ini yang membuat kami kesulitan untuk memaksa mereka menyerahkan lahan fasos dan fasum, tidak ada kejelasan mengenai sanksi karena tidak diatur dalam Permendagri itu sendiri," jelasnya.”.
Kehandalan komunikator tidak nampak dalam hal seperti pada frasa yang dicetak tebal di atas. Sebagai seorang kepala dinas yang menangani fasos fasum (leading sector) seharusnya menyampaikan dalam keterangannya bahwa pemerintah derah kini sudah tidak lemah lagi karena pemerintah daerah kabupaten Bekasi telah mengundangkan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan, Rumah Susun dan Perniagaan di Kabupaten Bekasi, yang sudah mengatur mengenai kejelasan sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi pidana denda.

3. Mode wacana (mode of discourse)
Pilihan bahasa,termasuk gaya bahasa yang digunakan bersifat eksplanatif, Kewajiban yang harus dipenuhi pengembang adalah ketersediaan lahan fasilitas social dan fasilitas umum (fasos dan fasum) untuk diserahkan kepada kami," kata Kepala Disperkimtan Kabupaten Bekasi, Iwan Ridwan di Cikarang, seperti dilansir dari Antara, Selasa (19/2) malam”
Namun, Bahasa ekplanatif tersebut miskin kesahihan dalam konteks sudah diundangkannya perda fasosfasum. Bahasa ekplanatif yang miskin kesahihan tentunya berdampak bagi pembaca publik di kabupaten Bekasi.

b. Potensi Hoax Information by Sourcer

Informasi hoax yang diberikn oleh narasumber dalam berita yang dikaji adalah bahwa lokus waktu ,
yang mana pada saat keterangan kepada wartawan diberikan, Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan, Rumah Rusun, dan Perniagaan di Kabupaten Bekasi telah diundangkan. Namun narasumber masih mengacu pada peraturan menteri tentang fasos fasum yng memeang tidak ada sanksi terhadap pengembang yang tak tertib. Berbeda dengan permendagri tentang fasos fasum, perda kab bekasi tentang fsos fasum telah memuat pasal tentang sanksi jika terjadi pelanggaran. Informasi yang tak akurat dan sampai kepada khalayak justru akan membuat blunder dan meresahkan.
Setiap hari masyarakat menerima informasi dari berbagai saluran media. Baik dari milik swasta maupun pemerintah. Informasi yang diterima kadang-kadang tidak dperiksa lagi, tetapi langsung diserap sebagai bagian dari kebenaran. Masyarakat kadang-kadang tidak memiliki waktu untuk mencerna kebenaran informasi tersebut, sehingga apa yang telah beredar di media massa diterima sebagai satu kebenaran. Apabila diperiksa secara seksama,mereka yang melontarkan informasi itu memiliki motivasi dan sejumlah tujuan yang belum diketahui penerima informasi. Jika tidak mengetahui fakta sebenarnya tentang informasi itu, masyarakat akan sulit sekali mendapatkan gambaran yang utuh dan benar. Misalnya, Disperkimtan yang sebenarnya mengetahui bahwa Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2017 tentang tentang Penyelenggaraan Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan, Rumah Rusun, dan Perniagaan di Kabupaten Bekasi telah diundangkan.

Berdasarkan kajian di atas, ada hal fundamendal lain yang harus dijadikan kerja bersama untuk merestriksi hoax information by sourcer. Narasumber harus ditingkatkan kehati-hatiannya dalam memberikan pernyataan. Masyarakat juga perlu menguatkan daya tahan diri, dalam menghadapi paparan informasi yang berlimpah setiap saat. Untuk menguatkan daya tahan tersebut, diperlukan inokulasi komunikasi. William J McGuire sebagaimana dikutip di bukunya Pfau, The Inoculation Model of Resistance to Influence (1997), menganalogikan proses ini seperti di dunia medis. Orang menyuntik vaksin untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya. Jika Anda memiliki daya tahan tubuh kuat, tentu tak akan mudah terserang penyakit. Pun demikian dalam proses berkomunikasi. Proses memberi vaksin tersebut, tiada lain adalah literasi digital. Konteks literasi digital itu adalah kemampuan menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital seperti media daring dengan tiga landasan utama yakni pengetahun, skill dan sikap. Pengetahuan untuk menjadi penyaring sebuah informasi itu masuk akal atau tidak, punya landasan argumentasi, data, fakta atau tidak. Skill untuk mengakses dan membandingkan antara satu informasi dengan informasi lain dari sumber-sumber yang kredibel.
7 (tujuh) daftar cek lis nya Scott Bedley dapat menjadi acuan untuk menyaring informasi. Sikap ajek dan tegas yang diperlukan untuk memastikan bahwa baik sebagai pembuat/penggiat maupun penyebar akan bertanggung jawab secara sosial atas informasi yang dipertukarkan. Jangan pernah menoleransi apa pun bentuk hoaks! 

Penutup

Sebagai petugas humas atau Public Relations Agent pada bagian Humas dan protokoler Sekretariat Daerah Kabupaten Bekasi tentu harus memenuhi prasyarat kemampuan di bidang kehumasan, termasuk literasi digital, literasi informasi. Juga kemampuan untuk memdalami kapabilitas Narasumber berita. Narasumber berita merupakan salah satu unsur kelengkapan berita. Narasumber berita harus memberikan keterangan/informasi sesuai dengan fakta, sehingga bukan hoax yang menyesatkan. Jangan kemudian PR Agent justru terjebak dalam menyediakan informasi rilis berita yang tidak memiliki keakuratan informasi. Dan justru malah mendapatkan perhargaan dari PIRA 2019.
Berdasarkan hal tersebut, hasil kajian penelitian ini merekomendasikan, sebagaimana Ridwan Kamil (2019) tuturkan di media daring, bahwa Humas kabupaten Bekasi harus diisi dengan yang mengerti kemajuan. Public relations ini harus diisi orang yang paham dinamika kemajuan. Tidak boleh orang yang kuper, kira kira begitu! Selain itu selazimnya PR Agent Humas pemerintah kabaupaten Bekasi meningkatkan kemampuannya dalam menilai sebuah informasi, layak di publish ataukah tak layak (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar