Kamis, 18 April 2019

POTENSI HOAX INFORMATION BY SOURCER PADA BERITA MEDIA SOSIAL HUMAS PEMERINTAH KABUPATEN BEKASI; Kritik atas Diraihnya Penghargaan PRIA Awards 2019

Oleh : Izhar Ma’sum Rosadi


(Kritikus, Aktivis, Ketum LSM BALADAYA, Warga Desa Segarajaya Kecamatan Tarumajaya Kab Bekasi)

Pendahuluan

Pada 28 Maret 2019 yang lalu, Pemerintah daerah Kabupaten Bekasi Raih penghargaan Bronze winner bidang media sosial sub kategori pemerintah daerah, dalam acara Public Relations Indonesia Awards (PRIA ) 2019. PRIA merupakan penghargaan ajang bergengsi dan komprehensif bagi pelaku kehumasan di Indonesia. Humas atau Hubungan Masyarakat seringkali diistilahkan dengan Public Relations atau PR. Salah satu kerja humas adalah publisitas. Publisitas merupakan alat yang penting bagi kegiatan kehumasan di dalam aspek perekayasaan opini publik terhadap suatu lembaga di dalam pembentukan citra seperti yang diungkapkan Anwar (1974) bahwa publisitas merupakan salah satu kegiatan humas di dalam hal memberikan penerangan kepada publiknya. Di dalam hal ini publisitas merupakan teknik penyampaian informasi yang mengandung nilai serta unsur-unsur berita yang disusun sedemikian rupa hingga dapat menarik perhatian khalayak di dalam mengetahui persuasi bagi kepentingan seseorang, instansi, organisasi, atau  suatu badan. Tak hanya pada organisasi swasta, di instansi pemerintah daerah pun terdapat humas. 
Sam Black  menyebutkan di dalam (Effendy, 2006) bahwa ada empat tujuan utama humas pemerintahan daerah, yakni, pertama, Memelihara penduduk agar tahu jelas mengenai kebijaksanaan lembaga beserta kegiatannya sehari-hari; kedua, Memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pandangannya mengenai proyek baru yang penting  sebelum lembaga mengambil keputusan; Ketiga, Memberikan penerangan kepada penduduk mengenai cara pelaksanaan sistem pemerintahan daerah dan mengenai hak-hak dan tanggung jawab mereka; dan terakhir, Mengembangkan rasa bangga sebagai warga negara. Humas pemerintah daerah kabupaten Bekasi, melalui media sosial website resminya, dapat berperan menyebarluaskan kebijakan pembangunan pemerintah menjadi pesan pembangunan. Namun, humas pemerintah kabupaten Bekasi pada 14 Februari 2019 merilis berita dengan judul” “DISPERKIMTAN TAGIH KEWAJIBAN PENGEMBANG SOAL FASOS FASUM”. Berdasarkan pada pengamatan awal, peneliti melihat adanya kelemahan dalam akurasi data dari narasumber, yang dapat menyebabkan sesat informasi ditengah-tengah harapan masyarakat akan meningkatnya kinerja pemerintah dalam pelayanan lingkungan perumahan yang memadai.

Melalui artikel ini penulis mencoba menggambarkan Potensi Hoax Information by Sourcer pada Berita Media Sosial Humas Pemerintahan Daerah Kabupaten Bekasi; Kritik atas Diraihnya Penghargaan PRIA Awards 2019. Uraian dilakukan berdasarkan hasil analisis isi berita terhadap bahan primer dan sekunder yang berhasil diinventarisasi serta sumber pustaka lainnya yang berhasil ditelusuri.
Pokok permasalahan yang dicoba diulas dalam tulisan ini adalah Bagaimana kecenderungan potensi hoax information by sourcer pada berita “DISPERKIMTAN TAGIH KEWAJIBAN PENGEMBANG SOAL FASOS FASUM “.
Sebelum masuk pada pembahasan, ada baiknya melihat metode penelitian. Penelitian ini dilaksanakan melalui kajian literatur dengan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menganalisis bagaimana kecenderungan potensi hoax information by sourcer pada berita “DISPERKIMTAN TAGIH KEWAJIBAN PENGEMBANG SOAL FASOS FASUM “.sehingga bisa memberikan sentuhan penting bagi perubahan sosial di kabuopaten Bekasi. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menjelaskan suatu peristiwa yang operasionalisasinya berkisar pada pengumpulan data, pengolahan data dan penafsiran data yang diberi makna secara rasional dengan tetap memegang prinsip-prinsip logika sehingga terbentuk kesimpulan yang holistik. Tujuan lain dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan, faktual dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Sedangkan penelitian eksploratif bersifat terbuka bertujuan untuk membangun suatu teori setelah melalui pengamatan empiris. masalah konseptual entang analisis isi berita. Tentu, agar kita bisa membedakan fakta dengan opini, dengan menganjurkan agar pembaca berita untuk tidak menelan mentah-mentah ucapan seorang narasumber yang dikutip oleh situs berita.

Memahami hoax

Hoaks sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Kata hoaks jika ditelusuri dari sejarah asal katanya pertama kali populer digunakan pada pertengahan hingga akhir abad ke-18. Berasal dari kata yang kerap digunakan para pesulap yakni hocus pocus. Istilah hocus pocus sendiri pertama kali muncul awal abad ke-17. Dalam Cambridge Dictionary (2017), disebutkan hoaks adalah rencana menipu sekelompok besar orang. Intinya hoaks adalah informasi yang tidak berdasarkan fakta atau data, tetapi tipuan dengan tujuan memperdaya masyarakat dengan model penyebaran informasinya yang masif.
Dengan demikian, ada dua karakter menonjol dari hoaks ini, yakni selalu direncanakan dan kebohongannya ditunjukkan untuk memapar banyak orang dalam waktu bersamaan. Strategi mengelola bisnis hoaks dilakukan terencana, terorganisasi, dan memanfaatkan ceruk 'pasar' konsumen dan produsen informasi di media sosial yang abai dengan literasi digital, literasi informasi dan juga literasi politik. Kalau ilihat dari modusnya, para pelaku bukan semata-mata mahir menebar berita palsu, ujaran kebencian, dan 'menggoreng' isu, mela inkan juga terkoneksi ke jejaring politik dan sepertinya punya stelsel aktif para petualang di belakang layar.
Model hoax ini sangat berbahaya bagi masa depan Kabupaten Bekasi. Terutama, Modus hoax untuk
mendapatkan pasar karena tiga faktor. Pertama, pola konsumsi dan distribusi informasi di media daring yang memindahkan cara bercerita dan bertukar gosip serta rumor dari mulut ke mulut menjadi tautan informasi yang menyesaki lini massa media sosial. Tak dimungkiri, meminjam istilah Walter Fisher, sebagaimana dikutip Julia T Wood, Communication Theories in Action (2004), manusia adalah homo narrans alias makhluk pencerita. Kerap kali, karena keinginan bercerita dan bergosip yang tak diimbangi dengan literasi digital, informasi, dan politik inilah, warga internet (netizen) menjadi mata rantai bekerjanya penggiat hoaks. Kedua, cara berkomunikasi yang diarahkan mental bigot. Istilah bigot merujuk pada orang yang memiliki dasar pemikiran bahwa siapapun yang tak memiliki kepercayaan yang sama dengan dirinya adalah orang atau kelompok yang salah. Ketiga, agenda politik yang berimpitan dan tidak dibarengi dengan kedewasaan dalam menyikapinya. Salah satu referensi agar seseorang memiliki literasi informasi memadai, dapat mengadopsi dari Seorang guru,
Scott Bedley mengajar kepada murid muridnya untuk menggunakan 7 cechk list saat mereka membaca artikel di media sosial atau internet. (Ina, 2019)
1. Apakah kamu mengetahui sunber dari berita? Apakah sumbernya berasal dari berita yang terkemuka?
2. Bagaimana kamu membandingkan berita itu dengan apa yang telah kamu ketahui?
3. Apakah informasi atau berita itu masuk akal? Apakah kamu memahami informasi itu?
4. Apakah kamu sudah memverifikasi berita itu dengan tiga tau sumber-sumber yang linnya yang dapat
dipercaya?
5. Apakah para ahli dlma bidng it telah dihubungi untuk memberikan informasi yang otentik?
6. Apakah informasi itu akurat?
7. Apakah informasi itu hanya sebuah copy paste?

Memahami Analisis Isi

Kerlinger (Flournoy, 1989) mengatakan bahwa Analisis isi adalah suatu metode untuk mengamati dan mengukur isi komunikasi. Tidak seperti mengamati langsung perilaku orang atau meminta orang untuk menjawab skala-skala, atau mewawancarai orang. Sang peneliti mengambil komunikasi-komunikasi yang telah dihasilkan oleh orang dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang komunikasi-komunikasi itu. Guido Stempel juga menguraikan “Analisis isi sebagai sistem formal untuk melakukan sesuatu yang dilakukan oleh kita semua secara informal tetapi tidak sering-sering, menarik kesimpulan-kesimpulan dari pengamatan-pengamatan isi.”
Pada salah satu strategi penulisan humas untuk merancang suatu pesan di dalam bentuk informasi atau berita, Harwood Childs mengatakan (Ruslan, 2004) sebagai komunikator handal diperlukan untuk mengemukakan suatu fakta yang jelas dan rasional di dalam mengubah opini publik melalui berota atau statement yang dipublikasikan. Untuk melihat profil wacana selalu mengandalakan adanya pembicaraan atau penulisan oleh sebab itu peneliti menggunakan model analisis Halliday (Kriyantono,2006) yang mencakup tiga unsur yakni:
a. Medan wacana (field of discourse): tindakan social yang sedang terjadi atau dibicarakan, aktivitas di mana para pelaku terlibat didi dalamnya, serta praktik-praktiknya yang terlihat di dalam teks.
b. Pelibat wacana (tenor of discours): pihak-pihak (pembicara dan sasaran) yang terlibat di dalam pembicaraan serta kedudukan dan hubungan diantara mereka. Termasuk menunjuk pada orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka. Dengan kata lain, siapa saja yang dikutip dan sebagaimana sumber itu digambarkan sifatnya.
c. Mode wacana (mode of discourse): pilihan bahasa,termasuk gaya bahasa yang digunakan bersifat eksplanatif, deskriptif, persuasive, hiperbolis, dan lainnya serta bagaimana pengaruhnya.
Kajian penelitian ini merujuk pada kerangka konseptual di atas, untuk kemudian membahasnya pada bagian pembahasan mengenai analisis isi berita berikut ini.

Potensi Hoax Information by Sourcer pada Berita Media Sosial Humas Pemerintahan Daerah Kabupaten Bekasi; Kritik atas Diraihnya Penghargaan PRIA Awards 2019

a. Analisis Isi Berita Humas Protokoler Sekretariat Daerah Kabupaten Bekasi mengenai Fasos Fasum

Pada 14 Februari 2019 humas dan protokoler sekretariat Daerah Kabupaten Bekasi telah merilis berita dengan judul” PEMKAB BEKASI TAGIH FASOS FASUM DARI PENGEMBANG”. Adapun ini berita tersebut adalah sebagai berikut :
“BEKASI – Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Disperkimtan) Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menagih janji para pengembang perumahan setempat untuk segera menuntaskan kewajibannya.
"Kewajiban yang harus dipenuhi pengembang adalah ketersediaan lahan fasilitas social dan fasilitas umum (fasos dan fasum) untuk diserahkan kepada kami," kata Kepala Disperkimtan Kabupaten Bekasi, Iwan Ridwan di Cikarang, seperti dilansir dari Antara, Selasa (19/2) malam.
Ia menjelaskan, perihal lahan fasos dan fasum sebenarnya telah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 2009. Yakni pengembang wajib menyerahkan lahan fasos dan fasumnya kepada pemerintah.
"Kita sudah panggil dankita imbau para pengembang perumahan, namun masih saja banyak yang belum memenuhi kewajibannya," kata dia.
Dari total ratusan pengembang perumahan yang menjalankan usahanya di Kabupaten Bekasi, sejauh ini baru 36 pengembang yang sudah menyerahkan lahan fasos dan fasum kepihaknya.
"Bahkan keberadaan pengembang di sini sudah berpuluh-puluh tahun, sementara Dinas kami baru dua tahun berdiri. Makanya akan terus kita tata dan monitor seluruhnya agar data kita valid," jelas Iwan.
Menurutnya, kelemahan pemerintah daerah untuk menertibkan persoalan ini adalah tidak adanya penerapan sanksi di dalam regulasi yang mengaturnya.
Sanksi yang dimaksudkan itu apakah masuk dalam pidana atau perdata bagi pengembang yang enggan menyerahkan lahan fasos dan fasum atas lahan yang mereka kerjakan.
"Ini yang membuat kami kesulitan untuk memaksa mereka menyerahkan lahan fasos dan fasum, tidak ada kejelasan mengenai sanksi karena tidak diatur dalam Permendagri itu sendiri," jelasnya.
Ia menambahkan, di tahun 2018 saja, dari enam pengembang yang dipanggil pihaknya, baru satu pengembang  yang menyatakan kesanggupannya untuk merealisasikan penyerahan lahan tersebut. 
Iwan menargetkan pada tahun 2019 ini, minimal ada 10 pengembang yang menyerahkan kewajiban fasos dan  fasum kepada pemerintah daerah. 
"Karena mereka sudah seharusnya menyerahkan saat awal mengurus perizinannya," tandas Iwan. 
(JendaMunthe)” 

Analisis isi adalah suatu metode untuk mengamati dan mengukur isi komunikasi (Kerlinger Flournoy, 1989. Peneliti mengambil komunikasi-komunikasi yang telah dihasilkan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang komunikasi-komunikasi itu. Penelit imenggunakan model analisis Halliday (Kriyantono,2006) yang mencakup tiga unsure yakni:

1. Berdasarkan pada Medan Wacana (field of discourse)
Memberikan keterangan kepada media dan mempublikasikannya melalui media merupakan sebuah tindakan sosial. Disperkimtan memberikan keterangan tentang pemerintah daerah kabupaten bekasi menagih fasos fasum ke pengembang yang ada di Kabupaten Bekasi ke media Antara dan selanjutnya dikutip oleh Humas dan protokoler pemeritah daerah kabupaten bekasi dengan mem publish nya melalui website Https://humas.bekasikab.go.id

2. Pelibat wacana (tenor of discourse)
Pihak-pihak (pembicara dan sasaran) yang terlibat di dalam pembicaraan adalah Kepala Disperkimtan
Kabupaten Bekasi, Iwan Ridwan. Dan sasaran pembicaraan adalah para pengembang, serta publik pembaca berita.
Harwood Childs mengatakan (Ruslan, 2004) sebagai komunikator handal diperlukan untuk mengemukakan suatu fakta yang jelas dan rasional di dalam mengubah opini publik melalui berita atau statement yang dipublikasikan. Dalam hal materi yang disampaikan oleh Kadisperkimtan memunculkan bias informasi.
Seperti pada kutipan dibawah ini.
“Menurutnya, kelemahan pemerintah daerah untuk menertibkan persoalan ini adalah tidak adanya
penerapan sanksi di dalam regulasi yang mengaturnya.
Sanksi yang dimaksudkan itu apakah masuk dalam pidana atau perdata bagi pengembang yang enggan menyerahkan lahan fasos dan fasum atas lahan yang mereka kerjakan.
"Ini yang membuat kami kesulitan untuk memaksa mereka menyerahkan lahan fasos dan fasum, tidak ada kejelasan mengenai sanksi karena tidak diatur dalam Permendagri itu sendiri," jelasnya.”.
Kehandalan komunikator tidak nampak dalam hal seperti pada frasa yang dicetak tebal di atas. Sebagai seorang kepala dinas yang menangani fasos fasum (leading sector) seharusnya menyampaikan dalam keterangannya bahwa pemerintah derah kini sudah tidak lemah lagi karena pemerintah daerah kabupaten Bekasi telah mengundangkan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan, Rumah Susun dan Perniagaan di Kabupaten Bekasi, yang sudah mengatur mengenai kejelasan sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi pidana denda.

3. Mode wacana (mode of discourse)
Pilihan bahasa,termasuk gaya bahasa yang digunakan bersifat eksplanatif, Kewajiban yang harus dipenuhi pengembang adalah ketersediaan lahan fasilitas social dan fasilitas umum (fasos dan fasum) untuk diserahkan kepada kami," kata Kepala Disperkimtan Kabupaten Bekasi, Iwan Ridwan di Cikarang, seperti dilansir dari Antara, Selasa (19/2) malam”
Namun, Bahasa ekplanatif tersebut miskin kesahihan dalam konteks sudah diundangkannya perda fasosfasum. Bahasa ekplanatif yang miskin kesahihan tentunya berdampak bagi pembaca publik di kabupaten Bekasi.

b. Potensi Hoax Information by Sourcer

Informasi hoax yang diberikn oleh narasumber dalam berita yang dikaji adalah bahwa lokus waktu ,
yang mana pada saat keterangan kepada wartawan diberikan, Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan, Rumah Rusun, dan Perniagaan di Kabupaten Bekasi telah diundangkan. Namun narasumber masih mengacu pada peraturan menteri tentang fasos fasum yng memeang tidak ada sanksi terhadap pengembang yang tak tertib. Berbeda dengan permendagri tentang fasos fasum, perda kab bekasi tentang fsos fasum telah memuat pasal tentang sanksi jika terjadi pelanggaran. Informasi yang tak akurat dan sampai kepada khalayak justru akan membuat blunder dan meresahkan.
Setiap hari masyarakat menerima informasi dari berbagai saluran media. Baik dari milik swasta maupun pemerintah. Informasi yang diterima kadang-kadang tidak dperiksa lagi, tetapi langsung diserap sebagai bagian dari kebenaran. Masyarakat kadang-kadang tidak memiliki waktu untuk mencerna kebenaran informasi tersebut, sehingga apa yang telah beredar di media massa diterima sebagai satu kebenaran. Apabila diperiksa secara seksama,mereka yang melontarkan informasi itu memiliki motivasi dan sejumlah tujuan yang belum diketahui penerima informasi. Jika tidak mengetahui fakta sebenarnya tentang informasi itu, masyarakat akan sulit sekali mendapatkan gambaran yang utuh dan benar. Misalnya, Disperkimtan yang sebenarnya mengetahui bahwa Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2017 tentang tentang Penyelenggaraan Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan, Rumah Rusun, dan Perniagaan di Kabupaten Bekasi telah diundangkan.

Berdasarkan kajian di atas, ada hal fundamendal lain yang harus dijadikan kerja bersama untuk merestriksi hoax information by sourcer. Narasumber harus ditingkatkan kehati-hatiannya dalam memberikan pernyataan. Masyarakat juga perlu menguatkan daya tahan diri, dalam menghadapi paparan informasi yang berlimpah setiap saat. Untuk menguatkan daya tahan tersebut, diperlukan inokulasi komunikasi. William J McGuire sebagaimana dikutip di bukunya Pfau, The Inoculation Model of Resistance to Influence (1997), menganalogikan proses ini seperti di dunia medis. Orang menyuntik vaksin untuk merangsang mekanisme daya tahan tubuhnya. Jika Anda memiliki daya tahan tubuh kuat, tentu tak akan mudah terserang penyakit. Pun demikian dalam proses berkomunikasi. Proses memberi vaksin tersebut, tiada lain adalah literasi digital. Konteks literasi digital itu adalah kemampuan menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital seperti media daring dengan tiga landasan utama yakni pengetahun, skill dan sikap. Pengetahuan untuk menjadi penyaring sebuah informasi itu masuk akal atau tidak, punya landasan argumentasi, data, fakta atau tidak. Skill untuk mengakses dan membandingkan antara satu informasi dengan informasi lain dari sumber-sumber yang kredibel.
7 (tujuh) daftar cek lis nya Scott Bedley dapat menjadi acuan untuk menyaring informasi. Sikap ajek dan tegas yang diperlukan untuk memastikan bahwa baik sebagai pembuat/penggiat maupun penyebar akan bertanggung jawab secara sosial atas informasi yang dipertukarkan. Jangan pernah menoleransi apa pun bentuk hoaks! 

Penutup

Sebagai petugas humas atau Public Relations Agent pada bagian Humas dan protokoler Sekretariat Daerah Kabupaten Bekasi tentu harus memenuhi prasyarat kemampuan di bidang kehumasan, termasuk literasi digital, literasi informasi. Juga kemampuan untuk memdalami kapabilitas Narasumber berita. Narasumber berita merupakan salah satu unsur kelengkapan berita. Narasumber berita harus memberikan keterangan/informasi sesuai dengan fakta, sehingga bukan hoax yang menyesatkan. Jangan kemudian PR Agent justru terjebak dalam menyediakan informasi rilis berita yang tidak memiliki keakuratan informasi. Dan justru malah mendapatkan perhargaan dari PIRA 2019.
Berdasarkan hal tersebut, hasil kajian penelitian ini merekomendasikan, sebagaimana Ridwan Kamil (2019) tuturkan di media daring, bahwa Humas kabupaten Bekasi harus diisi dengan yang mengerti kemajuan. Public relations ini harus diisi orang yang paham dinamika kemajuan. Tidak boleh orang yang kuper, kira kira begitu! Selain itu selazimnya PR Agent Humas pemerintah kabaupaten Bekasi meningkatkan kemampuannya dalam menilai sebuah informasi, layak di publish ataukah tak layak (*)

Jumat, 05 April 2019

Tak Elok Jika Partisipasi Masyarakat terkait Fasum Fasos dibungkam dengan SLAPP


Tak Elok Jika Partisipasi Masyarakat terkait Fasum Fasos dibungkam dengan SLAPP



Oleh Izhar Ma’sum Rosadi ( Warga Kabupaten Bekasi, Kritikus dan Aktivis, Ketua LSM BALADAYA, bisa dihubungi melalui HP/WA 08997020292 atau email izhar.mr@gmail.com)

Pendahuluan
Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan perumahan, terutama dalam mencapai pemenuhan haknya atas perumahan yang layak. Dalam penyelenggaraan perumahan, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dan menjadi faktor penting untuk memperkuat perspektif sosial maupun politik dalam pengambilan kebijakan.
Sherry R. Arnstein (2007:217) menyebutkan bahwa tingkat tertinggi dalam peran serta adalah kontrol oleh masyarakat (citizen control). Pentingnya kontrol oleh masyarakat dilandasi banyaknya kasus kejahatan perumahan dan permukiman. Kontrol oleh masyarakat juga menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan/kebijakan. Salah satu bentuk pengakuan terhadap kontrol oleh masyarakat dalam pengambilan keputusan/kebijakan adalah Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-making and Access to Justice in Environmental Matters atau yang dikenal dengan Konvensi Aarhus. Konvensi ini memberikan hak bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan melalui penyampaian pendapat terhadap suatu rencana atau program dengan memberikan ruang untuk menyampaikan pandangannya dengan jangka waktu yang efektif dan memadai.
Hak berperan serta diakui sebagai cara untuk mendapatkan perlindungan hukum atas peransertanya. Konsep ini dikenal dengan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti SLAPP). Ketika konsep SLAPP pertama kali dipublikasikan, George W. Pring dan Penelope Canan sebagai penemu konsep ini membagi SLAPP ke dalam beberapa bidang antara lain: pembangunan real estate, perpajakan, lingkungan hidup, dll. Namun, peran serta masyarakat tetap saja masih memiliki ruang untuk terjadinya kriminalisasi.
Berdasarkan pada pengamatan saya, terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosial yang belum diserahkan pengembang ke pemerintahan daerah kabupaten Bekasi. Selain itu, terdapat pula fasilitas umum yang telah disertifikatkan oleh pihak lain, padahal sejak dulu lahan itu merupakan fasilitas umum. Tambahan lagi, partisipasi masyarakat dalam pengadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum memiliki ruang untuk terjadinya kriminalisasi. Ada kemungkinan terjadinya SLAPP pada warga masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik, dalam pengertian bahwa lingkungan perumahan yang memiliki fasum dan fasos. Salah satu contohnya, bahwa partisipasi warga masyarakat pada perumahan Bulak Kapal Permai Kabupaten bekasi dimungkinkan terjadi SLAPP dan ini memanggil rasa solidaritas saya sebagai aktivis. Melalui tulisan ini yang menggunakan berbagai data kepustakaan, saya ingin mengurai beberapa kata kunci yakni; partisipasi, Fasum Fasos, SLAPP, Kinerja Pemerintah Daerah Kab Bekasi terkait fasum fasos, dan siapa yang paling dirugikan secara ekonomi politik.

Partisipasi
Sebenarnya, partisipasi itu merupakan hal lumrah dan sangat biasa dilakukan melalui beragam cara, baik pendampingan warga maupun memperjuangkan hak atas fasum fasos. Kata Partisipasi selama ini diterjemahkan sebagai ‘peran serta’ atau ‘keikutsertaan’. Konsep partisipasi dalam perkembangannya memiliki pengertian yang beragam walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan.
Partisipasi merupakan salah satu pilar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Partisipasi berarti memberikan kesempatan pada semua pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam setiap tahapan perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga evaluasi suatu kebijakan. Berpartisipasi diamanatkan dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio sebagaimana disebutkan:
Environmental issues are best handled with participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.”
Gaventa dan Valderama (1999) menyatakan bahwa dalam pembangunan yang demokratis, terdapat tiga tradisi partisipasi yaitu partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga. Partisipasi dalam proses politik yang demokratis melibatkan interaksi individu atau organisasi politik dengan negara yang diungkapkan melalui tindakan terorganisir melalui pemungutan suara, kampaye, protes, dengan tujuan mempengaruhi wakil-wakil pemerintah. Partisipasi sosial dalam kontek pembangunan diartikan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai pewaris pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan di semua tahapan siklus pembangunan. Dalam hal ini partisipasi sosial ditempatkan diluar lembaga formal pemerintahan. Sedangkan partisipasi warga diartikan sebagai suatu kepedulian dengan perbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Hal yang menonjol saat ini adalah adanya partisipasi warga masyarakat untuk memperjuangkan hak atas fasum fasos perumahan.

Fasum Fasos
Departemen Pendidikan Nasional, dalam Besar Bahasa Indonesia (2016), fasilitas sosial adalah fasilitas yang disediakan oleh pemerintah atau swasta untuk masyarakat, seperti sekolah, klinik, dan tempat ibadah. Sedangkan fasilitas umum adalah fasilitas yang disediakan untuk kepentingan umum,seperti jalan dan alat penerangan umum. Fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum – fasos) adalah hak warga yang wajib dipenuhi dalam setiap pengembangan perumahan. Pengaturan tentang fasilitas umum dan fasilitas sosial ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman. Dari Undang-Undang tersebut di atas kemudian diterbitkan pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman Di Daerah yang menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 yang di anggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 merumuskan fasos-fasum dalam tiga kategori. Yaitu:
1. Prasarana lingkungan mencakup antara lain jalan, saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah (pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2009). 2. Utilitas umum, meliputi bangunan-bangunan yang dibutuhkan dalam sistem pelayanan lingkungan seperti jaringan air bersih, listrik, gas, telepon, terminal angkutan umum/bus shelter, fasilitas kebersihan/ tempat pembuangan sampah, dan pemadam kebakaran (pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009).
3. Fasilitas sosial yang dibutuhkan masyarakat di lingkungan pemukiman seperti pendididikan, kesehatan, perbelanjaan dan niaga, pemerintahan dan pelayanan umum, peribadatan, rekreasi dan kebudayaan, olahraga dan lapangan terbuka, serta pemakaman umum (pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009).
Merujuk pada ketiga poin di atas, tak lepas dari kata “Lingkungan”, yaitu prasarana lingkungan, sistem pelayanan lingkungan dan lingkungan permukiman. Dalam kaitannya dengan memperjuangkan lingkungan yang baik dengan adanya ketersediaan fasum fasos, masyarakat perumahan Bulak Kapal Permai Kabupaten Bekasi berpotensi diterapkannya SLAPP.

SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation)
SLAPP merupakan terminologi baru yang dikenal di Indonesia sejak UUPPLH disahkan. Terminologi SLAPP dikenal melalui ketentuan Pasal 66 yang berbunyi:
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Jika membaca ketentuan Pasal 66, maka akan tersirat seperti hak imunitas bagi masyarakat dan aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk terlepas dari tuntutan pidana maupun gugatan perdata. Ketentuan pasal ini memberikan perlindungan atas upaya-upaya kriminalisasi yang terjadi dalam kasus lingkungan hidup.
Secara konseptual, ketentuan Pasal 66 didasarkan dari ketentuan Pasal 65 ayat (1) yang menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”
Heinhard Steiger, et.al. sebagaimana dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri menyebutnya sebagai hak-hak subyektif (subjective rights), yaitu bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Koesnadi Hardjasoemantri kemudian menyebutkan bahwa hak tersebut memberikan kepada yang mempunyainya suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum, dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya. Tuntutan tersebut mempunyai dua fungsi, yaitu yang dikaitkan pada hak membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungannya dan yang dikaitkan pada hak menuntut dilakukannya sesuatu tindakan agar lingkungannya dapat dilestarikan, dipulihkan, atau diperbaiki.
Sebagaimana terminologinya, SLAPP pada dasarnya bertujuan untuk membungkam/mendiamkan partisipasi masyarakat. Penelope Canan dan George W. Pring, sebagaimana dikutip oleh Dwight H. Merriam dan Jeffrey A. Benson menyebutkan bahwa SLAPP merupakan tindakan dengan menggunakan mekanisme pengadilan untuk menghilangkan partisipasi publik dengan mendiamkan, mengganggu, dan menghalangi lawan politik.
Saat ini belum ada pengertian yang baku mengenai SLAPP, sehingga akan lebih mudah mengenali SLAPP melalui 4 kriteria yang disampaikan oleh George W. Pring, yaitu:
1. Adanya keluhan, pengaduan, tuntutan dari masyarakat atas dampak kerusakan yang terjadi;
2. Dilakukan terhadap masyarakat secara kolektif, individual, dan organisasi non pemerintah;
3. Adanya komunikasi yang dilakukan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang;
4. Dilakukan terhadap isu yang menyangkut kepentingan umum atau perhatian publik.
Kriteria kelima yang dapat ditambahkan bahwa SLAPP dilakukan dengan tidak berdasar dan mengandung motif politik atau motif ekonomi tersembunyi. Kriteria tersebut tentunya dapat terus berkembang mengikuti kondisi yang terjadi. Dari kriteria yang disampaikan oleh George W. Pring dapat dilihat bahwa pada umumnya yang menjadi “korban” dari tindakan SLAPP adalah masyarakat. George W. Pring dan Penelope Canan kemudian menegaskan bahwa pihak yang menjadi target SLAPP selain masyarakat biasanya adalah organisasi non pemerintah, jurnalis dan media. Pada perkembangan beberapa kasus SLAPP, pemidanaan atau gugatan yang dilakukan lebih bersifat intimidatif dan mengancam untuk menimbulkan ketakutan bagi masyarakat yang menjadi korban. Hal seperti ini menjadi salah satu contoh tindakan yang dapat menghilangkan/ membungkam partipasi publik.
Perjuangan warga masyarakat perumahan Bulak Kapal Permai yang rawan SLAPP, mengindikasikan adanya kelemahan kinerja kabupaten Bekasi dalam pengadaan fasum fasos.

Lemahnya Kinerja Pemerintah Daerah kab Bekasi
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1987 sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi Nomor 30 Tahun 1995 tentang Kewajiban Penyediaan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial bagi Perusahaan Pembangunan Perumahan di Wilayah Daerah Tingkat II Bekasi,lahan TPU harus diserahkan kepada Pemerintah Daerah saat pengajuan siteplan.
Persetujuan siteplan dilakukan oleh Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman (DTRP) (kini sudah berubah menjadi DPRKPP atau Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan), dengan sebelumnya telah memperoleh rekomendasi dari Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Sekretariat Daerah (Setda). Pengajuan persetujuan siteplan harus disertai dengan penyerahan cadangan tanah makam / Lahan TPU seluas 2% dari siteplan yang diajukan untu disetujui. Rekomendasi dari kepala Tapem Setda terbit jika pengembang telah menyerahkan cadangan TU beserta dengan dokumen pendukungnya berupa Surat Pelepasan Hal (SPH). Lahan TPU juga harus dilakukan penilaian terlebih dulu untuk dituangkan dalam berita acara. Rekomendasi dari Kepala Bagian Tapem Setda disampaikan pada DTRP (kini DPRKPP) sebagai salah satu syarat penerbitan siteplan. Proses penyerahan TPU diadministrasikan di Kabag Tapem Setda dan seanjutnya ditindaklanjuti dengan penyerahan berkas SPH dan dituangkan dalam Berita Acara kepada SKPD yang membidangi administrasi aset aset pemerintah daerah dan SKPD teknis pengelola TPU.
Permasalahan pengelolaan Fasos Fasum terkait Tempat Pemakaman umum TPU telah diungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Provinsi Jawa Barat atas LKPD Kabupaten Bekasi TA 2015, diketahui hal hal sebagai berikut, diantaranya; Sebanyak 186 pengembang belum menyerahkan cadangan lahan TPU; Terdapat selisih jumah pengembang, jumah bidang, dan luss tanah cadangan lahan TPU yang tercatat pada dtrp dengan Bagian Tata Pemerintahan Setda; dan Sebanyak 29 pengembang yang telah memperoeh izin site plan beum menyerahkan cadangan lahan TPU seluas 98.844,7 m2;
Kemudian, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPD Kab Bekasi TA 2016 terdapat data yang menunjukkan bahwa terdapat 23 pengembang yang belum selesai dalam melaksanakan proses penyerahan Fasos Fasum. Tahun 2017, DTRP berubah menjadi DPRKPP dan berdasarkan penelusuran saya ke dinas tersebut bahwa ditahun 2017 , dari ratusan pengembang baru ada 33 pengembang yang telah menyerahkan fasum dan fasos.

Siapa yang paling dirugikan?
Ekonomi politik bertujuan mempelajari dan menganalisis proses-proses sosial dan institusional dimana kelompok elite ekonomi dan politik berusaha mempengaruhi keputusan untuk mengalokasikan sumber-sumber produktif langka untuk masa sekarang atau masa mendatang, baik untuk kepentingan kelompok tersebut maupun untuk kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu ekonomi politik membahas hubungan ekonomi dan politik dengan tekanan peranan kekuasaan dalam mengambil keputusan ekonomi (Rachbini dan Bustanul, 2001: 25). Kerangka pemikiran ekonomi politik digunakan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dari belum diserahkannya fasum dan fasos oleh pengembang perumahan kepada Pemerintah KotaSurabaya, siapa saja yang mendapat keuntungan dan kerugian,serta dapat melihat implikasi apa saja yang ditimbulkan baik secara ekonomis maupun politis dari hal tersebut, terutama dengan melihat aktor-aktor yang terlibat baik dari pemerintah sendiri sebagai pembuat dan pengambil kebijakan serta pengembang perumahan sebagai pelaku ekonomi.
Belum diserahkannya fasum dan fasos oleh para pengembang perumahan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi menimbulkan banyak permasalahan, baik dalam kondisi fisik fasum dan fasos, hingga pada pemberian sanksi. Tetapi, dari belum diserahkannya fasum dan fasos ini memunculkan implikasi baik dalam hal ekonomis maupun politis yang bersifat menguntungkan dan merugikan.
Pihak yang diuntungkan yang pertama adalah pengembang perumahan sebagai pelaku usaha sebab mereka lebih menekankan kepada keuntungan. Oleh karena itu, pengembang perumahan diuntungkan dengan belum diserahkannya fasum dan fasos. Hal ini disebabkan untuk mensertifikatkan lahan fasum dan fasos sebagai syarat penyerahan kepada pemkab tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar. Tidak adanya ketegasan pemerintah kabupaten untuk menindak para pengembang perumahan yang belum menyerahkan fasum dan fasosnya tersebut, pengembang merasa diuntungkan karena beban untuk perawatan fasum dan fasos diserahkan kepada penghuni perumahan, terutama perumahan yang memiliki manajemen estat sendiri, yang kedua adalah pemerintah kabupaten, pemerintah kabupaten juga diuntungkan dari belum diserahkannya fasum dan fasos ini. Hal ini disebabkan pemerintah kabupaten tidak dibebankan biaya perawatan fasum dan fasos yang belum diserahkan. Secara tidak langsung pemerintah diringankan anggarannya dalam hal pemeliharaan fasum dan fasos.
Sedangkan yang dirugikan disini adalah penghuni perumahan, terutama penghuni yang tinggal di perumahan yang fasum dan fasosnya belum diserahkan kepada pemerintah kabupaten. Hal ini disebabkan pada perumahan yang fasum dan fasosnya tidak diserahkan kepada pemkab, untuk perawatan fasum dan fasos dibebankan kepada penghuni perumahan. Penghuni perumahan dibebankan iuran perbulan untuk perawatan fasum dan fasos, khususnya pada perumahan yang memiliki manajemen estat sendiri. Kemudian, pada perumahan yang pengembangnya telah bubar, penghuni perumahan menjadi dirugikan disebabkan misalnya kondisi fasum dan fasos yang tidak lagi prima (rusak) dan tidak ada yang bertanggung jawab dalam perawatannya. Pemerintah kabupaten tidak bisa merawat fasum dan fasos disebabkan belum adanya serah terima dari pengembang perumahan yang terdahulu. Yang parahnya lagi, developer perumahan sudah bubar, namun meninggalkan persoalan fasum fasos, seperti yang terjadi pada Perumahan Bulak Kapal Permai Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Apakah kriteria kelima SLAPP, bahwa SLAPP dilakukan dengan tidak berdasar dan mengandung motif politik atau motif ekonomi tersembunyi?
Sebagai penutup, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada proses hukum yang sedang berjalan, Sungguh Tak elok, jika partisipasi warga masyarakat dalam memperjuangkan hak lingkungan yang baik dalam hal lingkungan permukiman, dimungkinkan terjadi dikriminalisasi melalui bentuk SLAPP. Pemerintah daerah kab bekasi selama ini ngapain aja? Bekerjalah maksimal ! (*)


(Tulisan opini ini pernah dipublish di portal media online https://znews.co.id pada 30 Maret 2019)


FENOMENA KORUPSI DI DAERAH, INSPEKTORAT HARUS BERANI TUNJUKKAN TARING


Oleh: Izhar Ma’sum Rosadi
(Tulisan opini ini pernah dipublish di portal media online https://znews.co.id pada 16 Februari 2019)

Dalam konteks kehidupan di alam pemerintahan daerah, ditutupi atau tidak, ternyata korupsi juga lazim dilakukan oleh oknum aparatur pemerintah daerah, oknum DPRD dan bahkan masyarakat pelaku pembangunan yang eksis di pemerintahan daerah. Kalau dari sisi pemerintahan daerah saja terjadi korupsi yang telah membudaya, tentunya hal ini lambat laun akan memberikan warna tersendiri bagi citra pemerintahan pusat. Upaya pemberantasan korupsi di pemerintahan daerah menjadi sangat sulit karena para tokoh koruptor lokal semakin pintar berkorupsi, mereka secara bersama-sama melakukan tindakan korupsi secara sistemik dan terorganisir, bahkan dilakukan dengan sangat halus nyaris tak terlihat. Melawan arus tersebut hanya akan konyol ketika kita akan menjadi Pahlawan Kesiangan dalam pemberantasan korupsi di pemerintahan daerah.
( Foto : Izhar Ma’sum Rosadi, warga desa Segarajaya kecamatan Tarumajaya kab Bekasi Jawa Barat, pemerhati dan analis kebijakan publik, serta Ketua Umum LSM BALADAYA)

Para pembaca yang budiman, korupsi merupakan kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) dan atau kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Dalam situs Wikipedia Indonesia, disebutkan bahwa istilah KORUPSI berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio yang asalnya dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, dan menyogok. Sedangkan secara istilah, korupsi didefinisikan sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sebagai misal, fenomena dari gegap gempita ditangkapnya Bupati Bekasi non aktif beserta oknum Jajaran petinggi SKPD dan adanya indikasi keterlibatan sejumlah oknum anggota DPRD Kab/prov, juga mendagri, dalam kasus suap untuk pemulusan perijinan Mega Proyek Meikarta adalah terpuruknya kredibilitas mereka di mata masyarakat. Kasus ini mengonfirmasi sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa korupsi sudah menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite.

Korupsi tidak hanya berdampak dalam satu aspek kehidupan saja sebagaimana diterangkan oleh para ahli dalam banyak riset dan penelitian. Korupsi menimbulkan domino effect yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya praktik korupsi di suatu kabupaten akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, harga barang-barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses warga terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu daerah akan terancam, citra penyelenggara pemerintahan yang buruk akan menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal, wal hasil krisis ekonomi akan menjadi berkepanjangan,dan kabupaten pun menjadi lemah dalam menghadapi persaingan global.

Benarkah bersihnya pemerintah dari kasus korupsi hanya menjadi sebuah mimpi? Sebagai contoh, Akankah slogan Bekasi Baru Bekasi Bersih hanya akan menjadi slogan belaka atau mimpi belaka? Memang tidak mudah memberantas korupsi. Ia sudah menjadi penyakit sosial yang selama sekian puluh tahun dianggap “wajar”. Namun sesulit apapun, pemberantasan korupsi harus terus diupayakan dengan berbagai cara. Lantas kapan kabupaten kita ini akan terbebas dari korupsi? Entahlah, pertanyaan ini yang mungkin sulit untuk dijawab.

Mencoba teriak korupsi dalam lingkup pemerintahan, mungkin saja anda akan dijuluki Pahlawan Kesiangan yang akan dimusuhi oleh semua unsur pemerintah dan masyarakat.
Apalagi jika berani melaporkan terjadinya korupsi ??? mungkin hanya akan membuat anda konyol di tengah cengkraman politisasi birokrasi yang kokoh dan sulit ditembus. Tapi apakah kita akan terus diam, melihat kedzaliman ini?

Tentu tidak ! Jika Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa jika ada pungli PTSL, Laporkan saja. Saya pun segera melaporkan satu temuan dugaan pungli PTSL beberapa waktu yang lalu, dan kini sedang menunggu hasil atas laporan tersebut. Pun demikian, sebagai warga bekasi, saya telah memberikan informasi untuk ditindaklanjuti berupa dugaan tindak pidana korupsi berupa Anggaran Ganda bagian pemerintahan umum setda kabupaten Bekasi 2016 sebagai langkah tindaklanjut atas rekomendasi KPK beberapa saat yang lalu, bahwa hal yang dilaporkan tersebut sebagai informasi untuk APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintahan Daerah) setempat atau Inspektorat. Selain itu juga, melaporkan dugaan korupsi pada program pembangunan Pagar Keliling ara panjat tebing Gedung Olahraga Raga Wibawamukti 2018.

Semakin maraknya pejabat daerah yang tersangkut korupsi menunjukkan bahwa inspektorat daerah tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias mandul. Jangankan menjadi lembaga kontrol yang efektif, mencegah dan menindak penyimpangan aparat birokrasi justru menjadi bagian dari masalah dalam tindak penyimpangan di birokrasi. Aparatur inspektorat daerah dinilai tidak mampu berbuat apa-apa ketika ada dugaan penyimpangan dan korupsi di tubuh birokrasi pemerintahan. Misalnya, di dinas-dinas dan/atau yang menyangkut kepala daerah sendiri (gubernur dan bupati/wali kota).
Pembaca yang budiman, menyikapi fenomena itu, meskipun secara struktural memang posisi inspektorat daerah itu adalah bagian dari pemerintah atau eksekutif bahwa kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) menduduki posisi sebagai pelindung atau Pembina, dalam menjalankan tugasnya seyogyanya dapat menjalankan tgas secara efektif agar tidak mandul. Dalam konteks ini, dalam mengawasi atau memeriksa dugaan penyimpangan di tubuh birokrasi pemerintah (di dinas-dinas, misalnya) jika pihak yang akan diawasi atau diperiksa adalah atasannya sendiri atau mungkin temannya sendiri. Dalam kondisi demikian, inspektorat daerah jangan merasa ewuh pakewuh atau segan untuk memeriksa dan menindaklanjuti dugaan penyimpangan, termasuk dugaan korupsi.

Sebagai warga kabupaten bekasi, saya berharap agar Inspektorat menindaklanjuti informasi dari kami selaku masyarakat dan bekerja sesuai dengan tupoksinya dalam rangka pemberantasan korupsi. Jadi, adagium bahwa mengungkap ’’borok’’ birokrasi berarti mengungkap ’’aib’’ teman sendiri, tak perlu digunakan lagi. Fungsi-fungsi dan peran pengawasan serta pemeriksaan yang selama ini dilakukan inspektorat daerah seyogyanya tidak sekadar formalitas belaka. Ketika harus berhadapan dengan kasus penyimpangan atau dugaan korupsi di birokrasi pemerintah, inspektorat daerah harus mampu menunjukkan ’’taringnya’’. Jika tak mampu menunjukkan “taringnya”, gagasan untuk membentuk KPK di daerah menjadi sebuah keniscayaan. (*)