Senin, 17 Desember 2018

KEPALA DESA, BERANI TRANSPARAN?

Oleh : Izhar Ma'sum Rosadi*


Presiden Joko Widodo membuat Program Nawa Cita ke-3 yaitu “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan memperkuat daerah–daerah dan Desa dalam kerangka Negara Kesatuan”, sesuai dengan hal itu diperlukan tata kelola Pemerintahan Desa yang baik, dengan dukungan Aparatur Desa yang berkualitas dan kompeten dibidangnya, khususnya Kepala Desa. Kepala Desa adalah pemimpin di Pemerintahan Desa yang memiliki peran sebagai decision maker, strategic positioner, dan change agent untuk para Aparatur Desa yang lain. Kepala Desa harus memiliki manajemen pengetahuan yang baik dan pengalaman yang sesuai dengan jabatan yang diemban, seperti sistem pengelolaan keuangan, manajerial organisasi, perilaku organisasi, dan manajemen kinerja yang baik. Tugas dan wewenang Kepala Desa yang secara langsung berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki diantaranya adalah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, menetapkan Tupoksi Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa, dan menyetujui pengeluaran yang ditetapkan dalam APBDes. Selain itu terdapat, setidaknya tiga “Kaidah-Kaidah Emas” yang kepala desa yang wajib pahami, yakni larangan agama perihal korupsi, mandat undang-undang, dan transparansi.

Larangan Tuhan perihal Korupsi

Tahun ke tahun, Aokasi Dana Desa (ADD) yang disalurkan semakin meningkat. Namun, dari tahun ke tahun pula selalu tercium tindak penyelewengan dana desa. Melihat kasus yang terjadi maka harus dilakukan pengawasan yang tetap dan memerlukan langkah kreatif dalam mengatasi masalah tersebut. Selain tindak penyelewengan, kecenderungan tidak efisiensi ADD didasari oleh pemborosan dalam memperhitungkan alokasi keuangan untuk membiayai pembangunan dan aktivitas pemerintah desa, tidak cermat mengkalkulasi kapasitas keuangan serta tingkat prioritas pendanaan, sehingga pencapaian sasaran tidak optimal. Tindakan demikian merupakan faktor etika dalam diri eksekutor yang mengarah kepada tindak korupsi oleh aparat. Tuhan melarang korupsi, di semua agama apapun. Tindak korupsi kecil yang berdampak besar merupakan salah satu kerusakan mental yang menjadi penghambat serius bagi tingkat efisiensi dana desa meski sangat jelas dalam Islam bahwa korupsi merupakan tindakan terlarang dan diharamkan oleh Allah SWT, seperti yang terkandung QS An-Nisa (4:29), yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Jelas bahwa dalam Ayat di atas, Allah SWT mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Selain itu, penyelenggaran pemerintahan desa yang baik seharusnya berpondasi yang kuat, sebab kerusakan mental seorang pemimpin akan merusak bumi dan seisinya, seperti yang terkandung dalam ayat Q.S. Ar Ruum (30:41) yang artinya “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Ayat tersebut, Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua kerusakan yang terjadi di muka bumi dalam berbagai bentuknya, penyebab utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat dilakukan tangan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat manusia adalah inti “kerusakan” sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.

Mandat Undang Undang

Adanya dana desa yang disalurkan keseluruh desa di Indonesia dengan tujuan pemerataan pembangunan mulai dari tingkat bawah sampai pusat, maka pemerintah menerbitkan Undang- Undang (UU) Desa Nomor 6 Tahun 2014. Sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Desa, pemerintah desa kini dituntut untuk memberlakukan keterbukaan informasi publik. Maksud dari diadakannya keterbukaan informasi publik pada pemerintahan desa agar warga desa mengetahui berbagai informasi tentang kebijakan dan pembangunan desa sehingga akan terbangun akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Adapun UU Desa yang mengatur tentang keterbukaan publik terdapat dalam beberapa pasal seperti pasal 24 asas penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan asas salah satunya adalah keterbukaan, pasal 26 ayat (4) huruf f Dalam melaksanakan tugas, Kepala Desa berkewajiban melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. kemudian dalam pasal 27 huruf c dan d kepala desa wajib memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran dan memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.

Menilik pada pasal 68 ayat (1) huruf a berbunyi masyarakat desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan Pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa dan yang terakhir pasal 86 ayat (1) Desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan (5) Sistem informasi desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan.

Transparansi

Keterbukaan informasi desa mengarah pada bentuk transparansi. Transparansi berarti keterbukaan (openness). Seorang pakar transparansi Florini (2007) sebagaimana dikutip Subhan dalam bukunya yang berjudul ”Jaringan Transparansi Multi Arah” menguraikan Transparansi sebagai derajat ketersediaan informasi bagi pihak luar (outsider) yang menjadikan mereka mampu mengetahui proses pengambilan keputusan dan untuk menilai keputusan yang dibuat. Dengan demikian Transparansi dalam konteks penggunaan dana Desa berarti bentuk keterbukaan pemerintah Desa dalam mengungkapkan berbagai proses, kegiatan dan hasilnya kepada stakeholder dan masyarakat desa. Tujuannya agar masyarakat desa dapat mengetahui sejauhmana kegiatan dan hasil  pembangunan dengan mengunakan dana Desa yang bersumber dari APBN itu telah dicapai. Transparansi juga berarti adanya kesediaan pemerintah Desa dalam memberikan informasi yang terkait dengan penggunaan dana Desa khususnya kepada masyarakat Desa dan kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Beberapa manfaat yang didapat jika transparansi ini dilaksanakan, antara lain; Menciptakan horizontal accountability antara pemerintah Desa dengan penduduk Desa dan pihak-pihak lain sehingga tercipta pemerintahan yang transparan, efisien, efektif dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat Desa; Menciptakan hubungan harmonis antara pemerintah Desa dengan masyarakat Desa dalam mendukung pengambilan keputusan yang ekonomis untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan Desa; Membandingkan kinerja anggaran / penggunaan anggaran dan untuk menilai kondisi dana dengan hasil yang dicapai, sehingga berguna untuk menyusun prioritas anggaran untuk mewujudkan program yang diprioritaskan; Dan sebagai kontrol publik terhadap pemerintah Desa.

Realita pada dimensi larangan Tuhan perihal korupsi, pemahaman akan mandat UU, dan dimensi transparansi ini dapat dikatakan ketiga hal tersebut belum optimal. Ditandai dengan masih adanya Kepala Desa yang tersangkut kasus korupsi, kepala desa berlatarbelakang pendidikan agama namun belum berani transparan, dan mayoritas masyarakat Desa kurang mengetahui dan memahami substansi mengenai dana Desa, penggunaannya untuk apa, dan siapa yang menjadi sasaran. Sebagian besar desa masih enggan menjalankannya. Bahkan sebagian besar desa seperti sengaja menutupi urusan penggunaan dana desa. Ketertutupan soal dana dianggap sebagai bagian dari supremasi pemerintahan desa dan merasa urusan bagaimana pemanfaatan dana desa adalah urusan elit desa. Akibatnya, berpotensi terjadinya penyalahgunaan dana menjadi sangat besar karena warga desa kesulitan mengontrol penggunaan dana. Bagaimana bisa mengawasi jika mereka tidak paham program apa saja yang bakal dijalankan dan berapa besaran biayanya tak pernah dibuka.
Bukan hanya rentan korupsi tetapi cara itu membuat partisipasi masyarakat terhadap pembangunan desaya menjadi lemah. Pemerintah desa seperti berjalan sendiri dan warga juga menjadi tidak terlalu peduli. Akibatnya, desa berkembang dengan lambat dan tidak terstruktur.

Oleh karena itu, maka perlu adanya perbaikan mental  dan sepatutnya pemerintah Desa harus membuka ruang komunikasi yang lebih luas kepada masyarakat Desa dan pihak-pihak yang berkepentingan sehingga dapat mengakses perkembangan pembangunan yang menggunakan dana Desa. Misalkan melalui infografis. Infografis tersebut dapat dalam bentuk softcopy yang dipublish melalui media sosial Twitter, Instagram dan Website resmi desa sedangkan yang hardcopy dicetak dalam bentuk banner dan dipasang di kantor kepala desa, sementara hardcopy laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa dapat diberikan kepada tokoh masyarakat dan stakeholders. Hanya Kepala Desa yang Berani Transparan yang akan melakukan itu ! (Penulis adalah Kritikus, Aktivis, Ketua Umum LSM Baladaya dan terlahir di desa dan kini mukim di desa Segarajaya kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Penulis dapat dihubungi melalui izhar.mr@gmail.com)

Senin, 03 Desember 2018

NHY TERSANGKA, KPK PATUT DIAPRESIASI

NHY TERSANGKA,KPK PATUT DIAPRESIASI

Oleh Izhar Ma’sum Rosadi, (Ketua Umum LSM BALADAYA)

(Tulisan ini pernah dipublished di portal media online znews.co.id pada 17 November 2018)

Satu lagi politisi Partai Golkar tersandung kasus hukum. Neneng Hasanah Yasin (NHY) resmi menjadi tersangka KPK dalam kasus Meikarta. Dia akan menjalani hari-hari berat dan terjal yang tak semata dirasakan dirinya melainkan juga keluarga bahkan partai tempat dia bernaung saat ini. 
Dampak dari gegap gempitanya operasi tangkap tangan sejumlah birokrat Bekasi yang melibatkan NHY, adalah terpuruknya kredibilitas birokrat eksekutif di kabupaten Bekasi. Kasus NHY menjadi “gempa dan tsunami” yang memporak-porandakan citra dan reputasi. Kasus ini mengonfirmasi sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa kleptokrasi sudah menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi eksekutif. Kejahatan tingkat atas (top-hate crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite. Kekuasaan untuk kesekian kalinya menjadi elegi atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita terutama bagi mereka yang tak mau atau tak mampu mengendalikan kuasa di genggamannya, yang terjebak dalam kleptokrasi.

Istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri mereka sendiri. Praktik korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang mempengaruhi kebijakan. Pemikir Prancis, Frederic Bastiat mengatakan, jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi. Sementara Stanislav Andreski dalam buku lawasnya Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)  menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah memperkaya diri.

Jika pun harus ada pihak yang patut diapresiasi dalam penetapan NHY sebagai tersangka, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lah yang patut mendapatkannya. Sejarah telah ditorehkan KPK, karena baru kali ini sejak lembaga ad hoc untuk penumpasan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) berupa korupsi ini berdiri di Indonesia, melakukan OTT di Kabupaten Bekasi  dan menetapkan NHY sebagai tersangka. Paling tidak, upaya ini menunjukkan secara gamblang niat baik KPK untuk tidak melakukan obstruction of juctice. Dalam konteks penegakkan hukum, obstruction of juctice menyebabkan pengadilan dan pertanggunganjawaban pidana hanya berlaku pada orang-orang korup tetapi tak berkuasa. Sementara mereka para ”Al Capone”  yang memiliki kuasa atau pengaruh atas kekuasaan politik dan hukum, tetap tak tersentuh meski sejumlah data telah menunjuk hidung mereka sebagai pelaku bahkan otak tindakan korupsi. Mereka inilah yang kerap dilabeli sebagai The Untouchable.
Sudah terlalu lama publik di kabupaten Bekasi skeptis dengan reputasi para penegak hukum. Sehingga proses-proses hukum yang sekarang berjalan di KPK seolah menjadi ’oase’ dalam pemberantasan korupsi. Kini kasus Meikarta yang sudah menyentuh NHY, menjadi indikator menggeliatnya KPK. Perang melawan korupsi telah dimasukkan ke dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tentu kelahiran KPK bukan karen alasan biasa, lembaga ini diharapkan mampu melakukan cara-cara luar biasa untuk membatasi pergerakan, modus, jaringan dan lain-lain dari sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang dianggap sudah meluas dan sistematis. Sehingga diperlukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan yang juga luar biasa. Dalam membangun reputasi kelembagaan sangat penting bagi KPK untuk menunjukkan imparsialitas sekaligus profesionalitas mereka dalam bekerja termasuk saat mereka harus berhadap-hadapan dengan orang yang sedang dalam kekuasaan, seperti dalam kasus Meikarta ini.publik juga mengharapkan agar KPK mampu mengurai persoalan korupsi di kabupaten Bekasi hingga ke Pemegang Kuasa di level Desa. 

Penetapan tersangka tentu buka  akhir cerita bagi NHY. Dalam negara hukum, NHY masih memiliki peluang untuk melakukan pembelaan-pembelaan. Penetapan NHY sebagai tersangka juga bisa menjadi pintu masuk pengembangan kasus ini ke anak tangga berikutnya. Lazimnya, modus korupsi politik itu tak pernah dilakukan oleh aktor tunggal, melainkan dilakukan oleh satu stelsel aktif secara “berjamaah”. Kerap muncul esprit de corps dari para pelaku korupsi politik dengan cara saling melindungi.  Tetapi biasanya, pertahanan mereka akan bobol dengan sendirinya, jika kekitaan di antara mereka tercerai berai akibat skenario penyelamatan diri masing-masing.

Kini, mengerjakan pemulihan lebih berat dan lebih susah dibanding memporak-porandakannya. Puing-puing kehormatan birokrasi pemerintahan Daerah kabupaten Bekasi hanya bisa direkatkan ulang oleh sosok-sosok berintegritas. Ditunjuknya Eka menjadi plt Bupati Bekasi, selazimnya harus mampu memperbaiki sistem yang bobrok! (***)