Oleh Izhar Rosadi
“Jalan-jalan di desaku jelek sekali tapi di desa sebelah kok sudah di cor”, begitu kata seorang warga kepada ku. Lebih-lebih lagi, “daerah kami kebanjiran, pak. Tapi meminta salah satu anggota dewan untuk berkunjung dan memberi bantuan kok kayak mengemis saja”, juga kata seseorang korban banjir kepada ku.
Para wakil rakyat melakukan kunjungan ke berbagai daerah, baik kunjungan yang diminta oleh rakyat (konstituen) maupun atas dasar inisiatif sendiri. Penyikapan atas permintaan rakyat pun beragam. Ada wakil rakyat yang jauh-jauh hari telah menyiapkan kunjungan dengan segala bantuan yang telah dipersiapkan dan ada wakil rakyat yang enggan mengunjungi konstituennya. Namun banyak pula, sekelompok masyarakat yang merasa seperti ‘mengemis’ mengharapkan kunjungan dari wakilnya untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Itulah penanda bahwa realitas simbolik wakil rakyat kini tak lagi tunggal sebagai sosok penuh harapan, melainkan telah menjadi narasi yang multiinterpretasi.
Sebagai kilas balik, kita tentu ingat bagaimana para wakil rakyat melakukan kampanye di Daerah Pemilihan (Dapil)-nya. Mereka tidak hanya sosok melainkan telah menjelma menjadi narasi yang menggugah partisipasi politik di dapilnya.
Menurut Fisher dalam bukunya "Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action" (1987), bahwa narasi itu lebih dari sekadar cerita yang memiliki plot dengan awal, pertengahan, dan akhir.Melainkan mencakup deskripsi verbal dan nonverbal apa pun dengan urutan kejadian yang diberi makna. Narasi merupakan tindakan simbolik, dan Wakil rakyat dan Lurah sekalipun, BELUM SUKSES mengurutkannya secara apik di awal periode kekuasaannya. Secara rasional, narasi wakil rakyat kini perlahan mulai memudar, terutama dalam perspektif orang atau sekelompok orang yang menginginkan langkah- langkah cepat dalam penanganan persoalan yang terjadi di daerahnya. Misalnya, dapat kita lihat dari buruknya infrastruktur desa di Segarajaya kecamatan Tarumajaya, terlebih lagi bencana banjir di Kecamatan Muara Gembong saat ini. Banyak pihak yang menyangsikan kiprah salah satu anggota DPRD dalam mewujudkan janji-janji retorisnya dalam langkah-langkah nyata. Sah-sah saja sikap skeptis mulai ditunjukkan banyak pihak, termasuk oleh individu, masyarakat dan organisasi-organisasi massa di dapilnya.Namun demikian,untuk menilai sebuah narasi dapat kita percayai atau tidak, kita mesti mengembangkan rasionalitas naratif sebagai satu di antara metode pengujiannya.
Ada dua indikator untuk memosisikan narasi wakil rakyat dilihat dari rasionalitas naratif.
Pertama, koherensi (coherence) merujuk pada konsistensi internal dari sebuah naratif.Apakah ucapan dan tindakan para wakil rakyat sebelum dan sesudah menjadi anggota parlemen masih runtut dan tidak kontradiktif. Misalnya, saat berkampanye mereka berjanji akan memperbaiki infrastruktur desa jika terpilih, namun setelah terpilih, apakah mereka menepati janjinya?
Kedua, indikatornya adalah kebenaran (fidelity) atau reliabilitas dari sebuah cerita. Sebuah narasi dianggap benar ketika elemen-elemen dari narasi tersebut merepresentasikan pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial.
Sebagai catatan kritisnya, jangan sampai pemilih mekanistis di daerah pemilihannya memiliki catatan buruk terhadap pemimpinnya (wakilnya di parlemen). Mereka pasti akan bergerilya baik melalui media massa maupun organisasi massa sebagai langkah oposan. Masih ada rentang waktu menuju 2014, dan kalau tidak bisa memperbaiki kinerjanya atau mewakili rakyat, selazimnya tidak perlu mencalonkan kembali di 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar